Minggu, 07 Mei 2017

Sekilas Tentang Tradisi Kebo-Keboan di Dusun Kemiren Banyuwangi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Adanya ciri khas yang dimiliki setiap kelompok merupakan hal yang harus diakui keberadaannya. Melalui ciri yang ada maka akan tercipta keindahan. Keindahan tersebut bisa dijumpai melalui ciri khas budaya yang dimiliki setiap daerah.Seperti yang sudah diketahui, ragam budaya yang ada dinilai keberadaannya mampu menjaga warisan leluhur yang ditiggalkan kepada anak cucunya.Peninggalan yang diwariskan dari generasi-kegenerasi dan berkembang dalam kelompok yang memilikinya bisa dikatakan sebagai budaya.Budaya atau bisa dikatakan sebagai kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa dipisahkan, pola hidup yang menyeluruh dan bersifat kompleks, abstrak, dan luas.Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Sebagai warisan yang perlu dijaga, maka dalam kehidupan manusia harus menghargai budaya yang telah dimiliki setiap kelompok. Menurut Koentjaraningrat (1982:61)  manusia dan kebudayaan Indonesia  budaya di dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan artefak. Mentifak berkaitan dengan pamikiran dan falsafah dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata mentifak dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian, teks, atau lagu.Ketiga aspek dari budaya berkaitan antara satu lainnya dan membentuk sebuah kesatuan budaya karena penggunaan dan pembuatan artefak membutuhkan sebuah sosiofak tertentu dengan landasan mentifak masyaarakat tersebut.
Budaya sebagai warisan yang dimiliki bersama oleh kelompok memiliki beberapa macam budaya.Salah satunya yakni budaya lokal.Budaya lokal merupakan budaya asli yang dimiliki setiap daerah atau kelompok dan memiliki ciri khas tersendiri.Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.Bentuk dari budaya lokal itu sendiri tidak sama persis di setiap daerah. Letak geografis juga mempengaruhi bentuk dari adanya macam budaya lokal yang ada.Macam yang ada dalam wujud budaya dalam bentuk artefak bisa dimiliki disetiap daerah dengan ciri khas yang berbeda.Misalnya saja yaitu kesenian, yang disetiap daerah pasti memiliki kesenian yang berbeda baik dipandang melalui pementasan maupun awal permulaannya.  
Kesenian Jawa Timur akan berbeda dengan kesenian Jawa Barat. Di Jawa Timur juga ditemui perbedaan kesenian di setiap daerahnya.Karena tidak hanya ada satu kesenian saja yang dimiliki.Perbedaan kesenian di Jawa Timur yang bisa diambil contoh yaitu daerah Banyuwangi tepatnya desa Alas malang.Wujud kesenian yang ada di desa Alas malang ini yakni adanya Kebo-keboan yang menjadi budaya masyarakat Banyuwangi tepatnya desa Alas malang. Kesenian Kebo-keboan yang menjadi warisan budaya masyarakat Alas malang memiliki ciri khas tersendiri dan diakui keberadaanya.
Untuk mengetahui apa saja ciri khas yang ada di kesenian Kebo-keboan ini dan bagaimana awal permulaan munculnya kebo-keboan, maka ditulislah karya tulis yang berjudul “Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang.”
           
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diambil sebuah rumusan masalah yaitu:
1.      Bagaimana awal munculnya tradisi kebo-keboan dan
2.      Bagaimana  respon masyarakat setempat?
3.      Bagaimana ritual kebo-keboan saat pelaksanaan?

C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui munculnya tradisi kebo-keboan
2.      Mengetahui keberadaan tradisi kebo-keboan di kalangan masyarakat Alasmalang

1.4 Manfaat Penulisan
        Manfaat yang dapat diambil dari penulisan karya tulis ini yakni:
1.      Menambah wawasan mengenai budaya lokal di Banyuwangi tepatnya desa Alasmalang
2.      Dapat memperkenalkan budaya kebo-keboan ke kalangan masyarakat yang lain.



1.5 Metode Penlitian
1.5.1 Objek Penelitian
            Objek penelitian karya tulis ilmiah ini adalah:
1.      Kebo-keboan
2.      Masyarakat Alasmalang

1.5.2    Data dan Sumber Data
            Dalam memperoleh data-data untuk penyusunan karya tulis ini dengan memahami pengertian budaya dan apa saja yang menjadi awal munculnya tradisi kebo-keboan di desa Alasmalang.

1.5.3    Teknik Pengumpulan Data
            Teknik pengumpulan data dalam karya tulis ini dengan cara membaca dan mengumpulkan data dari lapangan serta mengambil data melalui internet. Langkah kerja dalam teknik pengumpulan data ini meliputi, antara lain:
1)      Mencari buku-buku yang berkaitan dengan budaya atau kebudayaan
2)      Membaca serta memahami hal penting yang berkaitan dengan penelitian
3)      Mengambil data dari internet yang kemudian dipahami dan diubah kembali dengan bahasa sendiri
4)      Melakukan wawancara dengan narasumber

1.5.4    Teknik Analisi Data
            Teknik pengambilan data yang akan dibahas dilakukan secara menyeluruh sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan dalam karya tulis ini. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan memahami budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.
            Secara terinci pengambilan data dalam penelitian yang akan di analisis dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Mendiskripsikan mengenai budaya secara umum dan budaya lokal secara khusus
b)      Mengklasifikasikan data
c)      Pemahaman budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.




1.5.5    Prosedur Penelitian
            Berdasarkan metode yang digunakan, dalam penyelesaia makalah ini dilakukan dengan beberapa langkah diantaranya:
a)      Tahap persiapan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan data yang sesuai dengan topik karya tulis
b)      Tahap pelaksanaan, yaitu kegiatan menganalisis, mendiskripsikan hasil data yang telah dikumpulkan
c)      Tahap penyelesaian, yaitu kegiatan untuk memulai menyusun isi makalah mulai bab pertama.























BAB II
LANDASAN TEORI

            Kebudayaan yang mempunyai beberapa pengertian namun intinya sama yaitu hasil karya atau cipta suatu daerah. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Kebudayaan dalam arti sempit sering diartikan sebagai kesenian. Dalam arti luas, kebudayaan setidaknya meliputi tujuh sistem, yakni: (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian; dan (7) system teknologi dan peralatan. Namun demikian khas suatu kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara.
            Dalam hal upacara, budaya Jawa tepatnya Banyuwangi desa Alasmalang memiliki ciri khas dengan tradisinya yang tergabung dalam rangkaian upacara adat yakni tradisi kebo-keboan.Tradisi kebo-keboan ini merupakan salah satu macam budaya lokal yang dimiliki masyarakat Banyuwangi.Seiring perkembangan zaman, tradisi kebo-keboan semakin terkenal dikalangan masyarakat Banyuwangi khususnya dan masyarakat diluar Banyuwangi umumnya.Tradisi kebo-keboan muncul pertama kali sejak adanya krisis pangan yang melanda masyarakat Alasmalang.Diperkirakan tradisi ini muncul sebagai tanda kebesaran Tuhan dalam menolong umatnya yang tertimpa musibah.
            Dalam hal pelestarian budaya yang dimiliki setiap daerah, tradisi kebo-keboan ini dilakukan setiap tahunnya dalam acara yang sacral.Masyarakat berbondong ikut serta dalam acara ini dengan maksud dan tujuan yang jelas.Kebersamaan antar masyarakat semakin terpupuk dalam melaksanakan rangkaian acara kebo-keboan.Budaya yang salah satu manfaatnya sebagai sarana hiburan, maka dalam tardisi kebo-keboan ini berlangsung banyak peserta yang hadir dan penonton yang berdatangan untuk menyaksikan baik dari warga Alasmalang sendiri maupun dari luar Desa Alasmalang.Pertahanan yang kuat dalam melestarikan budaya lokal diaharapkan mampu menjaga tradisi kebo-keboan ini dengan baik.Supaya hasil cipta suatu daerah atau budaya yang dimiliki setiap daerah tidak hilang keberadaannya.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Awal Munculnya Kebo-keboan dan Respon Masyarakat
            Kesenian di Banyuwangi tepatnya Desa Alasmalang yakni kebo-keboan sudah ada sejak abad-18.Keberadaan kesenian kebo-keboan yang sudah lama muncul itu kini menjadi tradisi masyarakat Alasmalang.Dalam menjelang bulan suro masyarakat Alasmalang beramai-ramai melaksanakan tradisi ini.Kebo-keboan bermula dari adanya permasalahan besar yang melanda masyarakat Alasmalang.Masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani pada saat itu mengalami gagal panen besar-besaran atau masyarakat menyebutnya sebagai pagebluk. Pagebluk sama artinya dengan larang pangan. Gagal panen yang terjadi disebabkan akibat hama tikus yang berkepanjangan. Sehingga membuat lahan petani menjadi rusak dan berakibat sulit untuk bekerja. Selain peristiwa pagebluk, masyarakat saat itu terserang penyakit yang tidak diketahui apa penyebabnya. Berbagai obat diberikan, namun tidak ada satupun yang bisa menyembuhkan penyakit yang menyerang masyarakat Alasmalang itu.Penyakit itu sangat menyiksa masyarakat apalagi dengan bersamaannya gagal panen yang sedang melanda.Menyaksikan masyarakat yang resah dengan masalah yang melanda, membuat sesepuh masyarakat Alasmalang untuk bertindak menyelamatkan dari permasalahannya.Sesepuh masyarakat Alasmalang itu bernama Buyut Karti.
            Buyut Karti merasa iba melihat peristiwa itu, beliau melakukan meditasi di suatu bukit.Setelah meditasi akhirnya datanglah sebuah wangsit untuk Buyut Karti. Beliau di perintahkan untuk melakukan ruwatan atau ritual dengan mendadani beberapa orang seperti hewan kerbau lalu bertingkahlaku layaknya hewan kerbau dan mengagungkan Dewi Sri yang dipercaya sebagai simbol kemakmuran.Kemudian kembalilah Buyut Karti ke Desa Alasmalang setelah selesai dengan meditasinya. Mengenai apa yang telah didapatnya lalu disampaikanlah kepada masyarakat untuk menggelar ritual tersebut. Dari peristiwa ini dijulukilah ritual kebo-keboan.Alasan yang menjadikan mengapa ritual tersebut harus meniru hewan kerbau dan mengagungkan Dewi Sri, karena masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani sehingga digunakannya hewan kerbau. Karena hewan ini menjadi lambang hubungannya dengan petani saat di sawah dan Dewi Sri dianggapnya sebagai symbol kemakmuran. Tanpa menentang apa yang diperintahkan Buyut Karti, mereka pun beramai-ramai melaksanakan ritual tersebut dan berharap supaya cepat hilangnya masalah yang sedang melanda masyarakat.
            Setelah berjalannya ritual ini dan diiringi dengan memohon kepada Yang Maha Kuasa, maka bebaslah masyarakat dari masalah yang sudah melandanya.Peristiwa yang dialami petani yang dulunya mengalami larang pangan kini menjadi mudah setelah dilakukannya ritual tersebut dan memohon kepada Tuhan.Selain itu, penyakit yang melanda masyarakatakhirnya mendadak sembuh seperti datang sebuah keajaiban.Masyarakat Desa Alasmalang bersyukur lepas dari permasalahan yang membelit mereka. Sebagai rasa syukur dan menghargai apa yang sudah Buyut Karti lakukan untuk membantu orang-orang yang kesusahan, maka ritual Kebo-keboan ini dijadikannya sebuah tradisi masyarakat Desa Alasmalang. Setiap bulan Suro digelarlah tradisi kebo-keboan ini dengan peran masyarakat berdandan sebagai hewan kerbau.
            Tradisi yang digelar masyarakat Alasmalang awalnya berjalan lancar.Namun, datangnya perbedaan pendapat oleh masyarakat membuat tradisi yang sudah dijalankan disetiap bulan Suro ini hampir tersisihkan. Perbedaan tersebut berupa anggapan yang tidak sejalan oleh sebagian masyarakat karena beranggapan bahwa ritual kebo-keboan menyimpang dari agama islam. Mereka beranggapan bahwa tradisi tersebut menyembah batu yang terdapat pada salah satu ritual ritual tradisi kebo-keboan.Akibatnya dari permasalahan tersebut menyebabkan tradisi kebo-keboan vakum selama 30 tahun.Kemudian lahir seorang putra keturunan Buyut Karti bernama Wasono yang saat itu menjabat sebagai kepala dusun Krajan desa Alasmalang sadar bahwa budaya yang dibawa mbah buyutnya perlu dilestarikan dan dibangun kembali walaupun banyak berbagai pihak yang kurang setuju dengan diadakannya kembali tradisi kebo-keboan. Namun, Pak Wasono tetap teguh dengan tujuannya mempertahankan peninggalan mbah buyutnya yang sudah vakum 30 tahun akibat permasalahan yang ada pada saat itu.Berbagai usaha Pak Wasono dilakukan sampai akhirnya kembalilah tradisi tersebut untuk dilestarikan masyarakat Alasmalang.Setelah melewati berbagai konflik yang ada pada tradisi kebo-keboan, sampai sekarang tradisi tersebut sudah berjalan dengan baik disetiap bulan Suro.

3.2 Ritual Tradisi Kebo-keboan
            Ritual tradisi kebo-keboan dilakukan dengan upacara lalu ider bumi yangberlangsung dengan diawali memasang pintu gerbang yang terbuat dari hasil bumi, menanam segala jenis tanaman di tempat-tempat tertentu yang akan dilewati kebo-keboan ini, tanaman tersebut umumnya jenis palawija. Tanaman ini ditanam berfungsi sebagai rasa syukur kepada sang maha pencipta atas rezeki yang telah diberikan kepada masyarakat Desa Alasmalang yang sudah lepas dari permasalahannya. Selain itu, tanaman ini juga memiliki fungsi sebagai alur jalan kebo-keboan, pelaku yang menjadi kebo adalah warga Alasmalang yang bersedia berperan sebagai kebo jadi-jadian.Umumnya pelaku kebo-keboan adalah kaum lelaki karena dianggap lebih kuat dan memiliki tanggung jawab besar dalam keluarga.Namun apabila dari kaum perempuan ada yang bersedia untuk berperan dalam kebo-keboan juga diperbolehkan.
            Dalam melakukan tradisi kebo-keboan, ada beberapa urutan dalam pelaksanaannya.Yakni dimulai dari ritual; (1) ngandang, (2) barikan, (3) ider bumi.Disetiap urutan pelaksanaan ritual kebo-keboan, peran masyarakat selalu hadir dan ada maksud tujuan sendiri-sendiri setiap urutannya.

3.1.1 Ngandang
            Pelaksanaan kebo-keboan bagian pertama yakni ngandang, semua peserta upacara berkumpul dalam lokasi yang dibuat oleh masyarakat dengan pembatas pagar, selanjutnya di tempat tersebut ditaburi ramuan petung tawar oleh seorang pawang yang ditugaskan untuk menyampaikan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam upacara ramuan petung tawar tersebut. Maksud dari nama petung tawar yakni menunjukkan bahwa petung sama artinya dengan tujuh dan tawar sama dengan penawar, lebih jelasnya menjadi tujuh penawar. Tujuh penawar tersebut mengingatkan kepada kita tentang pola kehidupan yang terdiri dari:
a.       Bapak
b.      Ibu
c.       Wali
d.      Anak
e.       Pancer sukma (satu keturunan)
f.       Panutan (pemberi kehidupan)
g.      Sandang, pangan dan papan
Dalam ritual upacara ini dijelaskan oleh seorang yang bertugas dengan sebutan Boldrah (juru penerang) tentang ritual Ngandang.

3.1.2 Barikan
            Ritual selanjutnya setelah ngandang yakni barikan yang dilakukan oleh semua peserta pelaksana untuk menuju area ditengah sepanjang jalan dengan duduk berbanyar mengadakan selamatan.Pada ritual pelaku kebo-keboan tidak ikut serta dan tetap tinggal di kandang bersama Dewi Sri atau Dewi Pangan.Materi sesaji yang ada dalam ritual barikan ini, yakni berupa; (1) jenang suro, (2) tumpeng, (3) panggang ayam (peteteng), (4) peras.
            Sama halnya saat upacara yaitu untuk do’a disampaikan oleh pawangnya. Do’a yang disampaikan pada saat barikan ini seorang pawang menjelaskan warna-warni sesaji yang ada dengan tujuan supaya kehidupannya melalui permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa diberikan keselamatan, kemakmuran, kesuburan, dan dijauhkan dari segala bentuk malapetaka.

3.1.3 Ider Bumi
            Setelah selesai ritual pertama dan kedua dilanjutkan yang terakhir yakni ider bumi.Selesai melaksanakan selamatan seluruh peserta yang tergabung kembali ke kandang mempersiapkan ritual ider bumi.Seluruh peserta berbaris menuju 4 penjuru alam yaitu bagian barat ditandai dengan adanya watu gajah, bagian selatan ditandai watu tumpeng, bagian timur ditandai adanya watu loso, bagian utara dengan adanya watu kodok. Disetiap penjuru ditaruh rangkaian peras yang terbuat dari sebutir kelapa, 1 botol kecil minyak tanah, 2 cengkel pisang, racikan bumbu dapur, lawe dibuat dari benang, satu pajeg gula merah. Tujuan dari berbagai rupa yang disajikan yaitu sebagai symbol permohonan do’a agar upaya bertani cocok tanaman membuahkan hasil maksimal dan dijauhkan dari segala bentuk hama pada tanamannya. Keberadaan batu-batu tersebut sampai sekarang masih ada sebagao tanda untuk melakukan tradisi kebo-keboan setiap tahunnya.
            Ider bumi dilanjutkan dengan diawali Dewi Sri yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan sekujur tubuh dilumuri arang dan asesoris berupa rambut palsu berwarna hitam berserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher dan bertingkah laku aneh layaknya hewan kerbau.Kebo-keboan yang berlangsung dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Peserta yang terlibat dalam ritual ini adalah pemeran kebo-keboan, kesenian barong, Dewi Sri didampingi dayang, petani, dan kesenian-kesenian banyuwangi lainnya. Selain itu, seluruh anggota keluarga tiap masing-masing kepala keluarga diwajibkan ikut serta dalam tradisi ini, karena dipercayai apabila tidak ikut serta akan mengalami kesurupan yang susah untuk disembuhkan.
            Pada saat ider bumi berlangsung yang berjalan menyusuri desa, ada seseorang yang menghambur-hamburkan beras kuning dengan maksud untuk menolak balak.Saat tiba di perempatan dilakukan bedah air yang diirigi dengan berebut padi oleh masyarakat. Pada bagian berebut padi ini apabila ada yang mempercayainya maka akan membawa berkah yakni tanaman akan bertumbuh dengan baik. Setelah itu seluruh peserta digiring ke sawah, semua pelaku kebo-keboan masuk ke dalam sawah termasuk Dewi Sri untuk memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi Sri membagikan benih padi dan lagu pujian dikumandangkan untuk mengagungkan dewi ini. Selama ritual ini dilakukan apabila ada kebo-keboan yang kesurupan akan berubah menjadi jinak dan mendekati Dewi Sri untuk tunduk. Ritual ini diakhiri pembajakan sawah yang dilakukan oleh dua orang kebo-keboan yang berperilaku layaknya kerbau nyata yang sedang membajak sawah. Kemudian benih-benih padi di hambur-hamburkan di tengah sawah, seluruh warga Alasmalang masuk kedalam sawah dan berebut benih padi yang dipercayai akan membawa berkah. Proses pembajakan sawah yang sudah selesai maka seluruh peserta akan kembali ke padepokan.














\



BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
            Kesimpulan dan saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

4.1 Simpulan
1.      Pelestarian budaya dapat dilakukan dengan melestarikan produksi dan konsumsi symbol di dalam masyarakat melalui pelestarian aspek-aspek pembentuk budaya di dalam masyarakat.
2.      Budaya yang dimiliki setiap daerah menjadikan ciri khas dan identitas bagi masyarakat setiap daerah tersebut.
3.      Budaya akan muncul kapan saja dengan sejarahnya masing-masing yang harus dilestarikan keberadaanya dan salah satu manfaatnya yaitu menjadi sarana hiburan.

4.2 Saran
1.      Diharapkan sumber daya siswa semakin meningkat dengan adanya warisan budaya leluhur yang perlu untuk dipertahankan.
2.      Sebaiknya tindakan dalam hal pengakuan budaya sendiri lebih ditingkatkan untuk menghindari permasalahan dalam perebutan budaya.
3.      Sebagai masyarakat yang peduli terhadap budaya sebaiknya aktif dalam perkembangan budaya.














DAFTAR PUSTAKA
Roqib. Muhammad, M.Ag. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Purwokerto: STAIN  Purwokerto Press
Effendhie, Machmoed. 2000. Sejarah Budaya. Jakarta. CV ARMICO.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta.PT Tiara Wacana Yogya.






 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Adanya ciri khas yang dimiliki setiap kelompok merupakan hal yang harus diakui keberadaannya. Melalui ciri yang ada maka akan tercipta keindahan. Keindahan tersebut bisa dijumpai melalui ciri khas budaya yang dimiliki setiap daerah.Seperti yang sudah diketahui, ragam budaya yang ada dinilai keberadaannya mampu menjaga warisan leluhur yang ditiggalkan kepada anak cucunya.Peninggalan yang diwariskan dari generasi-kegenerasi dan berkembang dalam kelompok yang memilikinya bisa dikatakan sebagai budaya.Budaya atau bisa dikatakan sebagai kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa dipisahkan, pola hidup yang menyeluruh dan bersifat kompleks, abstrak, dan luas.Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Sebagai warisan yang perlu dijaga, maka dalam kehidupan manusia harus menghargai budaya yang telah dimiliki setiap kelompok. Menurut Koentjaraningrat (1982:61)  manusia dan kebudayaan Indonesia  budaya di dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan artefak. Mentifak berkaitan dengan pamikiran dan falsafah dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata mentifak dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian, teks, atau lagu.Ketiga aspek dari budaya berkaitan antara satu lainnya dan membentuk sebuah kesatuan budaya karena penggunaan dan pembuatan artefak membutuhkan sebuah sosiofak tertentu dengan landasan mentifak masyaarakat tersebut.
Budaya sebagai warisan yang dimiliki bersama oleh kelompok memiliki beberapa macam budaya.Salah satunya yakni budaya lokal.Budaya lokal merupakan budaya asli yang dimiliki setiap daerah atau kelompok dan memiliki ciri khas tersendiri.Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.Bentuk dari budaya lokal itu sendiri tidak sama persis di setiap daerah. Letak geografis juga mempengaruhi bentuk dari adanya macam budaya lokal yang ada.Macam yang ada dalam wujud budaya dalam bentuk artefak bisa dimiliki disetiap daerah dengan ciri khas yang berbeda.Misalnya saja yaitu kesenian, yang disetiap daerah pasti memiliki kesenian yang berbeda baik dipandang melalui pementasan maupun awal permulaannya.  
Kesenian Jawa Timur akan berbeda dengan kesenian Jawa Barat. Di Jawa Timur juga ditemui perbedaan kesenian di setiap daerahnya.Karena tidak hanya ada satu kesenian saja yang dimiliki.Perbedaan kesenian di Jawa Timur yang bisa diambil contoh yaitu daerah Banyuwangi tepatnya desa Alas malang.Wujud kesenian yang ada di desa Alas malang ini yakni adanya Kebo-keboan yang menjadi budaya masyarakat Banyuwangi tepatnya desa Alas malang. Kesenian Kebo-keboan yang menjadi warisan budaya masyarakat Alas malang memiliki ciri khas tersendiri dan diakui keberadaanya.
Untuk mengetahui apa saja ciri khas yang ada di kesenian Kebo-keboan ini dan bagaimana awal permulaan munculnya kebo-keboan, maka ditulislah karya tulis yang berjudul “Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang.”
           
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diambil sebuah rumusan masalah yaitu:
1.      Bagaimana awal munculnya tradisi kebo-keboan dan
2.      Bagaimana  respon masyarakat setempat?
3.      Bagaimana ritual kebo-keboan saat pelaksanaan?

C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui munculnya tradisi kebo-keboan
2.      Mengetahui keberadaan tradisi kebo-keboan di kalangan masyarakat Alasmalang

1.4 Manfaat Penulisan
        Manfaat yang dapat diambil dari penulisan karya tulis ini yakni:
1.      Menambah wawasan mengenai budaya lokal di Banyuwangi tepatnya desa Alasmalang
2.      Dapat memperkenalkan budaya kebo-keboan ke kalangan masyarakat yang lain
1.5 Metode Penilitian
1.5.1 Objek Penelitian
            Objek penelitian karya tulis ilmiah ini adalah:
1.      Kebo-keboan
2.      Masyarakat Alasmalang

1.5.2    Data dan Sumber Data
            Dalam memperoleh data-data untuk penyusunan karya tulis ini dengan memahami pengertian budaya dan apa saja yang menjadi awal munculnya tradisi kebo-keboan di desa Alasmalang.

1.5.3    Teknik Pengumpulan Data
            Teknik pengumpulan data dalam karya tulis ini dengan cara membaca dan mengumpulkan data dari lapangan serta mengambil data melalui internet. Langkah kerja dalam teknik pengumpulan data ini meliputi, antara lain:
1)      Mencari buku-buku yang berkaitan dengan budaya atau kebudayaan
2)      Membaca serta memahami hal penting yang berkaitan dengan penelitian
3)      Mengambil data dari internet yang kemudian dipahami dan diubah kembali dengan bahasa sendiri
4)      Melakukan wawancara dengan narasumber

1.5.4    Teknik Analisi Data
            Teknik pengambilan data yang akan dibahas dilakukan secara menyeluruh sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan dalam karya tulis ini. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan memahami budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.
            Secara terinci pengambilan data dalam penelitian yang akan di analisis dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Mendiskripsikan mengenai budaya secara umum dan budaya lokal secara khusus
b)      Mengklasifikasikan data
c)      Pemahaman budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.
1.5.5    Prosedur Penelitian
            Berdasarkan metode yang digunakan, dalam penyelesaia makalah ini dilakukan dengan beberapa langkah diantaranya:
a)      Tahap persiapan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan data yang sesuai dengan topik karya tulis
b)      Tahap pelaksanaan, yaitu kegiatan menganalisis, mendiskripsikan hasil data yang telah dikumpulkan
c)      Tahap penyelesaian, yaitu kegiatan untuk memulai menyusun isi makalah mulai bab pertama.



BAB II
LANDASAN TEORI

      Kebudayaan yang mempunyai beberapa pengertian namun intinya sama yaitu hasil karya atau cipta suatu daerah. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Kebudayaan dalam arti sempit sering diartikan sebagai kesenian. Dalam arti luas, kebudayaan setidaknya meliputi tujuh sistem, yakni: (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian; dan (7) system teknologi dan peralatan. Namun demikian khas suatu kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara.
            Dalam hal upacara, budaya Jawa tepatnya Banyuwangi desa Alasmalang memiliki ciri khas dengan tradisinya yang tergabung dalam rangkaian upacara adat yakni tradisi kebo-keboan.Tradisi kebo-keboan ini merupakan salah satu macam budaya lokal yang dimiliki masyarakat Banyuwangi.Seiring perkembangan zaman, tradisi kebo-keboan semakin terkenal dikalangan masyarakat Banyuwangi khususnya dan masyarakat diluar Banyuwangi umumnya.Tradisi kebo-keboan muncul pertama kali sejak adanya krisis pangan yang melanda masyarakat Alasmalang.Diperkirakan tradisi ini muncul sebagai tanda kebesaran Tuhan dalam menolong umatnya yang tertimpa musibah.
            Dalam hal pelestarian budaya yang dimiliki setiap daerah, tradisi kebo-keboan ini dilakukan setiap tahunnya dalam acara yang sacral.Masyarakat berbondong ikut serta dalam acara ini dengan maksud dan tujuan yang jelas.Kebersamaan antar masyarakat semakin terpupuk dalam melaksanakan rangkaian acara kebo-keboan.Budaya yang salah satu manfaatnya sebagai sarana hiburan, maka dalam tardisi kebo-keboan ini berlangsung banyak peserta yang hadir dan penonton yang berdatangan untuk menyaksikan baik dari warga Alasmalang sendiri maupun dari luar Desa Alasmalang.Pertahanan yang kuat dalam melestarikan budaya lokal diaharapkan mampu menjaga tradisi kebo-keboan ini dengan baik.Supaya hasil cipta suatu daerah atau budaya yang dimiliki setiap daerah tidak hilang keberadaannya.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Awal Munculnya Kebo-keboan dan Respon Masyarakat
            Kesenian di Banyuwangi tepatnya Desa Alasmalang yakni kebo-keboan sudah ada sejak abad-18.Keberadaan kesenian kebo-keboan yang sudah lama muncul itu kini menjadi tradisi masyarakat Alasmalang.Dalam menjelang bulan suro masyarakat Alasmalang beramai-ramai melaksanakan tradisi ini.Kebo-keboan bermula dari adanya permasalahan besar yang melanda masyarakat Alasmalang.Masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani pada saat itu mengalami gagal panen besar-besaran atau masyarakat menyebutnya sebagai pagebluk. Pagebluk sama artinya dengan larang pangan. Gagal panen yang terjadi disebabkan akibat hama tikus yang berkepanjangan. Sehingga membuat lahan petani menjadi rusak dan berakibat sulit untuk bekerja. Selain peristiwa pagebluk, masyarakat saat itu terserang penyakit yang tidak diketahui apa penyebabnya. Berbagai obat diberikan, namun tidak ada satupun yang bisa menyembuhkan penyakit yang menyerang masyarakat Alasmalang itu.Penyakit itu sangat menyiksa masyarakat apalagi dengan bersamaannya gagal panen yang sedang melanda.Menyaksikan masyarakat yang resah dengan masalah yang melanda, membuat sesepuh masyarakat Alasmalang untuk bertindak menyelamatkan dari permasalahannya.Sesepuh masyarakat Alasmalang itu bernama Buyut Karti.
            Buyut Karti merasa iba melihat peristiwa itu, beliau melakukan meditasi di suatu bukit.Setelah meditasi akhirnya datanglah sebuah wangsit untuk Buyut Karti. Beliau di perintahkan untuk melakukan ruwatan atau ritual dengan mendadani beberapa orang seperti hewan kerbau lalu bertingkahlaku layaknya hewan kerbau dan mengagungkan Dewi Sri yang dipercaya sebagai simbol kemakmuran.Kemudian kembalilah Buyut Karti ke Desa Alasmalang setelah selesai dengan meditasinya. Mengenai apa yang telah didapatnya lalu disampaikanlah kepada masyarakat untuk menggelar ritual tersebut. Dari peristiwa ini dijulukilah ritual kebo-keboan.Alasan yang menjadikan mengapa ritual tersebut harus meniru hewan kerbau dan mengagungkan Dewi Sri, karena masyarakat yang mayoritas bermatapencaharian sebagai petani sehingga digunakannya hewan kerbau. Karena hewan ini menjadi lambang hubungannya dengan petani saat di sawah dan Dewi Sri dianggapnya sebagai symbol kemakmuran. Tanpa menentang apa yang diperintahkan Buyut Karti, mereka pun beramai-ramai melaksanakan ritual tersebut dan berharap supaya cepat hilangnya masalah yang sedang melanda masyarakat.
            Setelah berjalannya ritual ini dan diiringi dengan memohon kepada Yang Maha Kuasa, maka bebaslah masyarakat dari masalah yang sudah melandanya.Peristiwa yang dialami petani yang dulunya mengalami larang pangan kini menjadi mudah setelah dilakukannya ritual tersebut dan memohon kepada Tuhan.Selain itu, penyakit yang melanda masyarakatakhirnya mendadak sembuh seperti datang sebuah keajaiban.Masyarakat Desa Alasmalang bersyukur lepas dari permasalahan yang membelit mereka. Sebagai rasa syukur dan menghargai apa yang sudah Buyut Karti lakukan untuk membantu orang-orang yang kesusahan, maka ritual Kebo-keboan ini dijadikannya sebuah tradisi masyarakat Desa Alasmalang. Setiap bulan Suro digelarlah tradisi kebo-keboan ini dengan peran masyarakat berdandan sebagai hewan kerbau.
            Tradisi yang digelar masyarakat Alasmalang awalnya berjalan lancar.Namun, datangnya perbedaan pendapat oleh masyarakat membuat tradisi yang sudah dijalankan disetiap bulan Suro ini hampir tersisihkan. Perbedaan tersebut berupa anggapan yang tidak sejalan oleh sebagian masyarakat karena beranggapan bahwa ritual kebo-keboan menyimpang dari agama islam. Mereka beranggapan bahwa tradisi tersebut menyembah batu yang terdapat pada salah satu ritual ritual tradisi kebo-keboan.Akibatnya dari permasalahan tersebut menyebabkan tradisi kebo-keboan vakum selama 30 tahun.Kemudian lahir seorang putra keturunan Buyut Karti bernama Wasono yang saat itu menjabat sebagai kepala dusun Krajan desa Alasmalang sadar bahwa budaya yang dibawa mbah buyutnya perlu dilestarikan dan dibangun kembali walaupun banyak berbagai pihak yang kurang setuju dengan diadakannya kembali tradisi kebo-keboan. Namun, Pak Wasono tetap teguh dengan tujuannya mempertahankan peninggalan mbah buyutnya yang sudah vakum 30 tahun akibat permasalahan yang ada pada saat itu.Berbagai usaha Pak Wasono dilakukan sampai akhirnya kembalilah tradisi tersebut untuk dilestarikan masyarakat Alasmalang.Setelah melewati berbagai konflik yang ada pada tradisi kebo-keboan, sampai sekarang tradisi tersebut sudah berjalan dengan baik disetiap bulan Suro.

3.2 Ritual Tradisi Kebo-keboan
            Ritual tradisi kebo-keboan dilakukan dengan upacara lalu ider bumi yangberlangsung dengan diawali memasang pintu gerbang yang terbuat dari hasil bumi, menanam segala jenis tanaman di tempat-tempat tertentu yang akan dilewati kebo-keboan ini, tanaman tersebut umumnya jenis palawija. Tanaman ini ditanam berfungsi sebagai rasa syukur kepada sang maha pencipta atas rezeki yang telah diberikan kepada masyarakat Desa Alasmalang yang sudah lepas dari permasalahannya. Selain itu, tanaman ini juga memiliki fungsi sebagai alur jalan kebo-keboan, pelaku yang menjadi kebo adalah warga Alasmalang yang bersedia berperan sebagai kebo jadi-jadian.Umumnya pelaku kebo-keboan adalah kaum lelaki karena dianggap lebih kuat dan memiliki tanggung jawab besar dalam keluarga.Namun apabila dari kaum perempuan ada yang bersedia untuk berperan dalam kebo-keboan juga diperbolehkan.
            Dalam melakukan tradisi kebo-keboan, ada beberapa urutan dalam pelaksanaannya.Yakni dimulai dari ritual; (1) ngandang, (2) barikan, (3) ider bumi.Disetiap urutan pelaksanaan ritual kebo-keboan, peran masyarakat selalu hadir dan ada maksud tujuan sendiri-sendiri setiap urutannya.

3.1.1 Ngandang
            Pelaksanaan kebo-keboan bagian pertama yakni ngandang, semua peserta upacara berkumpul dalam lokasi yang dibuat oleh masyarakat dengan pembatas pagar, selanjutnya di tempat tersebut ditaburi ramuan petung tawar oleh seorang pawang yang ditugaskan untuk menyampaikan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam upacara ramuan petung tawar tersebut. Maksud dari nama petung tawar yakni menunjukkan bahwa petung sama artinya dengan tujuh dan tawar sama dengan penawar, lebih jelasnya menjadi tujuh penawar. Tujuh penawar tersebut mengingatkan kepada kita tentang pola kehidupan yang terdiri dari:
a.       Bapak
b.      Ibu
c.       Wali
d.      Anak
e.       Pancer sukma (satu keturunan)
f.       Panutan (pemberi kehidupan)
g.      Sandang, pangan dan papan
Dalam ritual upacara ini dijelaskan oleh seorang yang bertugas dengan sebutan Boldrah (juru penerang) tentang ritual Ngandang.

3.1.2 Barikan
            Ritual selanjutnya setelah ngandang yakni barikan yang dilakukan oleh semua peserta pelaksana untuk menuju area ditengah sepanjang jalan dengan duduk berbanyar mengadakan selamatan.Pada ritual pelaku kebo-keboan tidak ikut serta dan tetap tinggal di kandang bersama Dewi Sri atau Dewi Pangan.Materi sesaji yang ada dalam ritual barikan ini, yakni berupa; (1) jenang suro, (2) tumpeng, (3) panggang ayam (peteteng), (4) peras.
            Sama halnya saat upacara yaitu untuk do’a disampaikan oleh pawangnya. Do’a yang disampaikan pada saat barikan ini seorang pawang menjelaskan warna-warni sesaji yang ada dengan tujuan supaya kehidupannya melalui permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa diberikan keselamatan, kemakmuran, kesuburan, dan dijauhkan dari segala bentuk malapetaka.

3.1.3 Ider Bumi
            Setelah selesai ritual pertama dan kedua dilanjutkan yang terakhir yakni ider bumi.Selesai melaksanakan selamatan seluruh peserta yang tergabung kembali ke kandang mempersiapkan ritual ider bumi.Seluruh peserta berbaris menuju 4 penjuru alam yaitu bagian barat ditandai dengan adanya watu gajah, bagian selatan ditandai watu tumpeng, bagian timur ditandai adanya watu loso, bagian utara dengan adanya watu kodok. Disetiap penjuru ditaruh rangkaian peras yang terbuat dari sebutir kelapa, 1 botol kecil minyak tanah, 2 cengkel pisang, racikan bumbu dapur, lawe dibuat dari benang, satu pajeg gula merah. Tujuan dari berbagai rupa yang disajikan yaitu sebagai symbol permohonan do’a agar upaya bertani cocok tanaman membuahkan hasil maksimal dan dijauhkan dari segala bentuk hama pada tanamannya. Keberadaan batu-batu tersebut sampai sekarang masih ada sebagao tanda untuk melakukan tradisi kebo-keboan setiap tahunnya.
            Ider bumi dilanjutkan dengan diawali Dewi Sri yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan sekujur tubuh dilumuri arang dan asesoris berupa rambut palsu berwarna hitam berserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher dan bertingkah laku aneh layaknya hewan kerbau.Kebo-keboan yang berlangsung dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Peserta yang terlibat dalam ritual ini adalah pemeran kebo-keboan, kesenian barong, Dewi Sri didampingi dayang, petani, dan kesenian-kesenian banyuwangi lainnya. Selain itu, seluruh anggota keluarga tiap masing-masing kepala keluarga diwajibkan ikut serta dalam tradisi ini, karena dipercayai apabila tidak ikut serta akan mengalami kesurupan yang susah untuk disembuhkan.
            Pada saat ider bumi berlangsung yang berjalan menyusuri desa, ada seseorang yang menghambur-hamburkan beras kuning dengan maksud untuk menolak balak.Saat tiba di perempatan dilakukan bedah air yang diirigi dengan berebut padi oleh masyarakat. Pada bagian berebut padi ini apabila ada yang mempercayainya maka akan membawa berkah yakni tanaman akan bertumbuh dengan baik. Setelah itu seluruh peserta digiring ke sawah, semua pelaku kebo-keboan masuk ke dalam sawah termasuk Dewi Sri untuk memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi Sri membagikan benih padi dan lagu pujian dikumandangkan untuk mengagungkan dewi ini. Selama ritual ini dilakukan apabila ada kebo-keboan yang kesurupan akan berubah menjadi jinak dan mendekati Dewi Sri untuk tunduk. Ritual ini diakhiri pembajakan sawah yang dilakukan oleh dua orang kebo-keboan yang berperilaku layaknya kerbau nyata yang sedang membajak sawah. Kemudian benih-benih padi di hambur-hamburkan di tengah sawah, seluruh warga Alasmalang masuk kedalam sawah dan berebut benih padi yang dipercayai akan membawa berkah. Proses pembajakan sawah yang sudah selesai maka seluruh peserta akan kembali ke padepokan.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
            Kesimpulan dan saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

4.1 Simpulan
1.      Pelestarian budaya dapat dilakukan dengan melestarikan produksi dan konsumsi symbol di dalam masyarakat melalui pelestarian aspek-aspek pembentuk budaya di dalam masyarakat.
2.      Budaya yang dimiliki setiap daerah menjadikan ciri khas dan identitas bagi masyarakat setiap daerah tersebut.
3.      Budaya akan muncul kapan saja dengan sejarahnya masing-masing yang harus dilestarikan keberadaanya dan salah satu manfaatnya yaitu menjadi sarana hiburan.

4.2 Saran
1.      Diharapkan sumber daya siswa semakin meningkat dengan adanya warisan budaya leluhur yang perlu untuk dipertahankan.
2.      Sebaiknya tindakan dalam hal pengakuan budaya sendiri lebih ditingkatkan untuk menghindari permasalahan dalam perebutan budaya.
3.      Sebagai masyarakat yang peduli terhadap budaya sebaiknya aktif dalam perkembangan budaya.

  
DAFTAR PUSTAKA
Roqib. Muhammad, M.Ag. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Purwokerto: STAIN  Purwokerto Press
Effendhie, Machmoed. 2000. Sejarah Budaya. Jakarta. CV ARMICO.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta.PT Tiara Wacana Yogya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar