BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Adanya ciri khas yang dimiliki setiap kelompok merupakan
hal yang harus diakui keberadaannya. Melalui ciri yang ada maka akan tercipta
keindahan. Keindahan tersebut bisa dijumpai melalui ciri khas budaya yang
dimiliki setiap daerah.Seperti yang sudah diketahui, ragam budaya yang ada dinilai
keberadaannya mampu menjaga warisan leluhur yang ditiggalkan kepada anak
cucunya.Peninggalan yang diwariskan dari generasi-kegenerasi dan berkembang
dalam kelompok yang memilikinya bisa dikatakan sebagai budaya.Budaya atau bisa
dikatakan sebagai kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak
bisa dipisahkan, pola hidup yang menyeluruh dan bersifat kompleks, abstrak, dan
luas.Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Sebagai warisan
yang perlu dijaga, maka dalam kehidupan manusia harus menghargai budaya yang
telah dimiliki setiap kelompok. Menurut
Koentjaraningrat (1982:61) manusia dan
kebudayaan Indonesia budaya di dalam
masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan
artefak. Mentifak berkaitan dengan pamikiran dan falsafah dasar kebudayaan,
sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata mentifak dalam
kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat
berupa barang, tarian, teks, atau lagu.Ketiga aspek dari budaya berkaitan
antara satu lainnya dan membentuk sebuah kesatuan budaya karena penggunaan dan
pembuatan artefak membutuhkan sebuah sosiofak tertentu dengan landasan mentifak
masyaarakat tersebut.
Budaya sebagai warisan
yang dimiliki bersama oleh kelompok memiliki beberapa macam budaya.Salah
satunya yakni budaya lokal.Budaya lokal merupakan budaya asli yang dimiliki
setiap daerah atau kelompok dan memiliki ciri khas tersendiri.Menurut Judistira
(2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan
kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan
nasional.Bentuk dari budaya lokal itu sendiri tidak sama persis di setiap
daerah. Letak geografis juga mempengaruhi bentuk dari adanya macam budaya lokal
yang ada.Macam yang ada dalam wujud budaya dalam bentuk artefak bisa dimiliki
disetiap daerah dengan ciri khas yang berbeda.Misalnya saja yaitu kesenian,
yang disetiap daerah pasti memiliki kesenian yang berbeda baik dipandang
melalui pementasan maupun awal permulaannya.
Kesenian Jawa Timur
akan berbeda dengan kesenian Jawa Barat. Di Jawa Timur juga ditemui perbedaan kesenian
di setiap daerahnya.Karena tidak hanya ada satu kesenian saja yang dimiliki.Perbedaan
kesenian di Jawa Timur yang bisa diambil contoh yaitu daerah Banyuwangi
tepatnya desa Alas malang.Wujud kesenian yang ada di desa Alas malang ini yakni
adanya Kebo-keboan yang menjadi budaya masyarakat Banyuwangi tepatnya desa Alas
malang. Kesenian Kebo-keboan yang menjadi warisan budaya masyarakat Alas malang
memiliki ciri khas tersendiri dan diakui keberadaanya.
Untuk mengetahui apa
saja ciri khas yang ada di kesenian Kebo-keboan ini dan bagaimana awal
permulaan munculnya kebo-keboan, maka ditulislah karya tulis yang berjudul “Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, dapat diambil sebuah rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana
awal munculnya tradisi kebo-keboan dan
2. Bagaimana
respon masyarakat setempat?
3. Bagaimana
ritual kebo-keboan saat pelaksanaan?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui munculnya tradisi kebo-keboan
2.
Mengetahui keberadaan tradisi
kebo-keboan di kalangan masyarakat Alasmalang
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat
diambil dari penulisan karya tulis ini yakni:
1.
Menambah wawasan mengenai budaya lokal
di Banyuwangi tepatnya desa Alasmalang
2.
Dapat memperkenalkan budaya kebo-keboan
ke kalangan masyarakat yang lain.
1.5
Metode Penlitian
1.5.1
Objek Penelitian
Objek
penelitian karya tulis ilmiah ini adalah:
1.
Kebo-keboan
2.
Masyarakat Alasmalang
1.5.2 Data dan Sumber Data
Dalam
memperoleh data-data untuk penyusunan karya tulis ini dengan memahami
pengertian budaya dan apa saja yang menjadi awal munculnya tradisi kebo-keboan
di desa Alasmalang.
1.5.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dalam karya tulis ini dengan cara membaca dan mengumpulkan
data dari lapangan serta mengambil data melalui internet. Langkah kerja dalam
teknik pengumpulan data ini meliputi, antara lain:
1) Mencari
buku-buku yang berkaitan dengan budaya atau kebudayaan
2) Membaca
serta memahami hal penting yang berkaitan dengan penelitian
3) Mengambil
data dari internet yang kemudian dipahami dan diubah kembali dengan bahasa
sendiri
4) Melakukan
wawancara dengan narasumber
1.5.4 Teknik Analisi Data
Teknik
pengambilan data yang akan dibahas dilakukan secara menyeluruh sesuai dengan
rumusan masalah dan tujuan dalam karya tulis ini. Kegiatan tersebut dilakukan
dengan tujuan memahami budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.
Secara
terinci pengambilan data dalam penelitian yang akan di analisis dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Mendiskripsikan
mengenai budaya secara umum dan budaya lokal secara khusus
b) Mengklasifikasikan
data
c) Pemahaman
budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.
1.5.5 Prosedur Penelitian
Berdasarkan metode yang digunakan,
dalam penyelesaia makalah ini dilakukan dengan beberapa langkah diantaranya:
a) Tahap
persiapan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan data yang sesuai dengan topik karya
tulis
b) Tahap
pelaksanaan, yaitu kegiatan menganalisis, mendiskripsikan hasil data yang telah
dikumpulkan
c) Tahap
penyelesaian, yaitu kegiatan untuk memulai menyusun isi makalah mulai bab
pertama.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Kebudayaan
yang mempunyai beberapa pengertian namun intinya sama yaitu hasil karya atau
cipta suatu daerah. Menurut Edward Burnett
Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Kebudayaan dalam arti sempit sering diartikan sebagai kesenian. Dalam
arti luas, kebudayaan setidaknya meliputi tujuh sistem, yakni: (1) sistem
religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3)
sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata
pencaharian; dan (7) system teknologi dan peralatan. Namun demikian khas suatu kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam
unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara.
Dalam hal upacara, budaya Jawa tepatnya Banyuwangi desa
Alasmalang memiliki ciri khas dengan tradisinya yang tergabung dalam rangkaian
upacara adat yakni tradisi kebo-keboan.Tradisi kebo-keboan ini merupakan salah
satu macam budaya lokal yang dimiliki masyarakat Banyuwangi.Seiring
perkembangan zaman, tradisi kebo-keboan semakin terkenal dikalangan masyarakat
Banyuwangi khususnya dan masyarakat diluar Banyuwangi umumnya.Tradisi kebo-keboan
muncul pertama kali sejak adanya krisis pangan yang melanda masyarakat
Alasmalang.Diperkirakan tradisi ini muncul sebagai tanda kebesaran Tuhan dalam
menolong umatnya yang tertimpa musibah.
Dalam hal pelestarian budaya yang dimiliki setiap daerah,
tradisi kebo-keboan ini dilakukan setiap tahunnya dalam acara yang
sacral.Masyarakat berbondong ikut serta dalam acara ini dengan maksud dan
tujuan yang jelas.Kebersamaan antar masyarakat semakin terpupuk dalam
melaksanakan rangkaian acara kebo-keboan.Budaya yang salah satu manfaatnya
sebagai sarana hiburan, maka dalam tardisi kebo-keboan ini berlangsung banyak
peserta yang hadir dan penonton yang berdatangan untuk menyaksikan baik dari
warga Alasmalang sendiri maupun dari luar Desa Alasmalang.Pertahanan yang kuat
dalam melestarikan budaya lokal diaharapkan mampu menjaga tradisi kebo-keboan
ini dengan baik.Supaya hasil cipta suatu daerah atau budaya yang dimiliki
setiap daerah tidak hilang keberadaannya.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Awal Munculnya Kebo-keboan dan Respon Masyarakat
Kesenian
di Banyuwangi tepatnya Desa Alasmalang yakni kebo-keboan sudah ada sejak
abad-18.Keberadaan kesenian kebo-keboan yang sudah lama muncul itu kini menjadi
tradisi masyarakat Alasmalang.Dalam menjelang bulan suro masyarakat Alasmalang
beramai-ramai melaksanakan tradisi ini.Kebo-keboan bermula dari adanya
permasalahan besar yang melanda masyarakat Alasmalang.Masyarakat yang mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani pada saat itu mengalami gagal panen
besar-besaran atau masyarakat menyebutnya sebagai pagebluk. Pagebluk sama
artinya dengan larang pangan. Gagal panen yang terjadi disebabkan akibat hama
tikus yang berkepanjangan. Sehingga membuat lahan petani menjadi rusak dan
berakibat sulit untuk bekerja. Selain peristiwa pagebluk, masyarakat saat itu
terserang penyakit yang tidak diketahui apa penyebabnya. Berbagai obat
diberikan, namun tidak ada satupun yang bisa menyembuhkan penyakit yang
menyerang masyarakat Alasmalang itu.Penyakit itu sangat menyiksa masyarakat
apalagi dengan bersamaannya gagal panen yang sedang melanda.Menyaksikan masyarakat
yang resah dengan masalah yang melanda, membuat sesepuh masyarakat Alasmalang
untuk bertindak menyelamatkan dari permasalahannya.Sesepuh masyarakat
Alasmalang itu bernama Buyut Karti.
Buyut
Karti merasa iba melihat peristiwa itu, beliau melakukan meditasi di suatu
bukit.Setelah meditasi akhirnya datanglah sebuah wangsit untuk Buyut Karti.
Beliau di perintahkan untuk melakukan ruwatan atau ritual dengan mendadani
beberapa orang seperti hewan kerbau lalu bertingkahlaku layaknya hewan kerbau
dan mengagungkan Dewi Sri yang dipercaya sebagai simbol kemakmuran.Kemudian
kembalilah Buyut Karti ke Desa Alasmalang setelah selesai dengan meditasinya.
Mengenai apa yang telah didapatnya lalu disampaikanlah kepada masyarakat untuk
menggelar ritual tersebut. Dari peristiwa ini dijulukilah ritual
kebo-keboan.Alasan yang menjadikan mengapa ritual tersebut harus meniru hewan
kerbau dan mengagungkan Dewi Sri, karena masyarakat yang mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani sehingga digunakannya hewan kerbau. Karena
hewan ini menjadi lambang hubungannya dengan petani saat di sawah dan Dewi Sri
dianggapnya sebagai symbol kemakmuran. Tanpa menentang apa yang diperintahkan
Buyut Karti, mereka pun beramai-ramai melaksanakan ritual tersebut dan berharap
supaya cepat hilangnya masalah yang sedang melanda masyarakat.
Setelah
berjalannya ritual ini dan diiringi dengan memohon kepada Yang Maha Kuasa, maka
bebaslah masyarakat dari masalah yang sudah melandanya.Peristiwa yang dialami
petani yang dulunya mengalami larang pangan kini menjadi mudah setelah
dilakukannya ritual tersebut dan memohon kepada Tuhan.Selain itu, penyakit yang
melanda masyarakatakhirnya mendadak sembuh seperti datang sebuah
keajaiban.Masyarakat Desa Alasmalang bersyukur lepas dari permasalahan yang
membelit mereka. Sebagai rasa syukur dan menghargai apa yang sudah Buyut Karti
lakukan untuk membantu orang-orang yang kesusahan, maka ritual Kebo-keboan ini
dijadikannya sebuah tradisi masyarakat Desa Alasmalang. Setiap bulan Suro
digelarlah tradisi kebo-keboan ini dengan peran masyarakat berdandan sebagai
hewan kerbau.
Tradisi
yang digelar masyarakat Alasmalang awalnya berjalan lancar.Namun, datangnya
perbedaan pendapat oleh masyarakat membuat tradisi yang sudah dijalankan
disetiap bulan Suro ini hampir tersisihkan. Perbedaan tersebut berupa anggapan
yang tidak sejalan oleh sebagian masyarakat karena beranggapan bahwa ritual
kebo-keboan menyimpang dari agama islam. Mereka beranggapan bahwa tradisi
tersebut menyembah batu yang terdapat pada salah satu ritual ritual tradisi
kebo-keboan.Akibatnya dari permasalahan tersebut menyebabkan tradisi
kebo-keboan vakum selama 30 tahun.Kemudian lahir seorang putra keturunan Buyut
Karti bernama Wasono yang saat itu menjabat sebagai kepala dusun Krajan desa
Alasmalang sadar bahwa budaya yang dibawa mbah buyutnya perlu dilestarikan dan
dibangun kembali walaupun banyak berbagai pihak yang kurang setuju dengan
diadakannya kembali tradisi kebo-keboan. Namun, Pak Wasono tetap teguh dengan
tujuannya mempertahankan peninggalan mbah buyutnya yang sudah vakum 30 tahun
akibat permasalahan yang ada pada saat itu.Berbagai usaha Pak Wasono dilakukan
sampai akhirnya kembalilah tradisi tersebut untuk dilestarikan masyarakat
Alasmalang.Setelah melewati berbagai konflik yang ada pada tradisi kebo-keboan,
sampai sekarang tradisi tersebut sudah berjalan dengan baik disetiap bulan
Suro.
3.2
Ritual Tradisi Kebo-keboan
Ritual tradisi
kebo-keboan dilakukan dengan upacara lalu ider bumi
yangberlangsung dengan diawali memasang pintu gerbang yang terbuat dari hasil
bumi, menanam segala jenis tanaman di tempat-tempat tertentu yang akan dilewati
kebo-keboan ini, tanaman tersebut umumnya jenis palawija. Tanaman ini ditanam
berfungsi sebagai rasa syukur kepada sang maha pencipta atas rezeki yang telah
diberikan kepada masyarakat Desa Alasmalang yang sudah lepas dari
permasalahannya. Selain itu, tanaman ini juga memiliki fungsi sebagai alur
jalan kebo-keboan, pelaku yang menjadi kebo adalah warga Alasmalang yang
bersedia berperan sebagai kebo jadi-jadian.Umumnya pelaku kebo-keboan adalah
kaum lelaki karena dianggap lebih kuat dan memiliki tanggung jawab besar dalam
keluarga.Namun apabila dari kaum perempuan ada yang bersedia untuk berperan
dalam kebo-keboan juga diperbolehkan.
Dalam
melakukan tradisi kebo-keboan, ada beberapa urutan dalam pelaksanaannya.Yakni
dimulai dari ritual; (1) ngandang, (2) barikan, (3) ider bumi.Disetiap urutan
pelaksanaan ritual kebo-keboan, peran masyarakat selalu hadir dan ada maksud
tujuan sendiri-sendiri setiap urutannya.
3.1.1
Ngandang
Pelaksanaan
kebo-keboan bagian pertama yakni ngandang, semua peserta upacara berkumpul
dalam lokasi yang dibuat oleh masyarakat dengan pembatas pagar, selanjutnya di
tempat tersebut ditaburi ramuan petung tawar oleh seorang pawang yang
ditugaskan untuk menyampaikan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam upacara
ramuan petung tawar tersebut. Maksud dari nama petung tawar yakni menunjukkan
bahwa petung sama artinya dengan tujuh dan tawar sama dengan penawar, lebih
jelasnya menjadi tujuh penawar. Tujuh penawar tersebut mengingatkan kepada kita
tentang pola kehidupan yang terdiri dari:
a.
Bapak
b.
Ibu
c.
Wali
d.
Anak
e.
Pancer sukma (satu keturunan)
f.
Panutan (pemberi kehidupan)
g.
Sandang, pangan dan papan
Dalam
ritual upacara ini dijelaskan oleh seorang yang bertugas dengan sebutan Boldrah
(juru penerang) tentang ritual Ngandang.
3.1.2
Barikan
Ritual
selanjutnya setelah ngandang yakni barikan yang dilakukan oleh semua peserta
pelaksana untuk menuju area ditengah sepanjang jalan dengan duduk berbanyar
mengadakan selamatan.Pada ritual pelaku kebo-keboan tidak ikut serta dan tetap
tinggal di kandang bersama Dewi Sri atau Dewi Pangan.Materi sesaji yang ada
dalam ritual barikan ini, yakni berupa; (1) jenang suro, (2) tumpeng, (3)
panggang ayam (peteteng), (4) peras.
Sama
halnya saat upacara yaitu untuk do’a disampaikan oleh pawangnya. Do’a yang
disampaikan pada saat barikan ini seorang pawang menjelaskan warna-warni sesaji
yang ada dengan tujuan supaya kehidupannya melalui permohonan kepada Tuhan Yang
Maha Esa diberikan keselamatan, kemakmuran, kesuburan, dan dijauhkan dari
segala bentuk malapetaka.
3.1.3
Ider Bumi
Setelah
selesai ritual pertama dan kedua dilanjutkan yang terakhir yakni ider
bumi.Selesai melaksanakan selamatan seluruh peserta yang tergabung kembali ke
kandang mempersiapkan ritual ider bumi.Seluruh peserta berbaris menuju 4
penjuru alam yaitu bagian barat ditandai dengan adanya watu gajah, bagian
selatan ditandai watu tumpeng, bagian timur ditandai adanya watu loso, bagian
utara dengan adanya watu kodok. Disetiap penjuru ditaruh rangkaian peras yang
terbuat dari sebutir kelapa, 1 botol kecil minyak tanah, 2 cengkel pisang,
racikan bumbu dapur, lawe dibuat dari benang, satu pajeg gula merah. Tujuan
dari berbagai rupa yang disajikan yaitu sebagai symbol permohonan do’a agar
upaya bertani cocok tanaman membuahkan hasil maksimal dan dijauhkan dari segala
bentuk hama pada tanamannya. Keberadaan batu-batu tersebut sampai sekarang
masih ada sebagao tanda untuk melakukan tradisi kebo-keboan setiap tahunnya.
Ider
bumi dilanjutkan dengan diawali Dewi Sri yang ditandu oleh beberapa pengawal
dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan sekujur
tubuh dilumuri arang dan asesoris berupa rambut palsu berwarna hitam berserta
tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher dan
bertingkah laku aneh layaknya hewan kerbau.Kebo-keboan yang berlangsung dihalau
oleh para petani yang membawa hasil panennya. Peserta yang terlibat dalam
ritual ini adalah pemeran kebo-keboan, kesenian barong, Dewi Sri didampingi
dayang, petani, dan kesenian-kesenian banyuwangi lainnya. Selain itu, seluruh
anggota keluarga tiap masing-masing kepala keluarga diwajibkan ikut serta dalam
tradisi ini, karena dipercayai apabila tidak ikut serta akan mengalami
kesurupan yang susah untuk disembuhkan.
Pada
saat ider bumi berlangsung yang berjalan menyusuri desa, ada seseorang yang
menghambur-hamburkan beras kuning dengan maksud untuk menolak balak.Saat tiba
di perempatan dilakukan bedah air yang diirigi dengan berebut padi oleh
masyarakat. Pada bagian berebut padi ini apabila ada yang mempercayainya maka
akan membawa berkah yakni tanaman akan bertumbuh dengan baik. Setelah itu
seluruh peserta digiring ke sawah, semua pelaku kebo-keboan masuk ke dalam
sawah termasuk Dewi Sri untuk memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi Sri
membagikan benih padi dan lagu pujian dikumandangkan untuk mengagungkan dewi
ini. Selama ritual ini dilakukan apabila ada kebo-keboan yang kesurupan akan
berubah menjadi jinak dan mendekati Dewi Sri untuk tunduk. Ritual ini diakhiri
pembajakan sawah yang dilakukan oleh dua orang kebo-keboan yang berperilaku
layaknya kerbau nyata yang sedang membajak sawah. Kemudian benih-benih padi di
hambur-hamburkan di tengah sawah, seluruh warga Alasmalang masuk kedalam sawah
dan berebut benih padi yang dipercayai akan membawa berkah. Proses pembajakan
sawah yang sudah selesai maka seluruh peserta akan kembali ke padepokan.
\
BAB
IV
SIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan dan
saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut.
4.1
Simpulan
1.
Pelestarian budaya dapat dilakukan
dengan melestarikan produksi dan konsumsi symbol di dalam masyarakat melalui
pelestarian aspek-aspek pembentuk budaya di dalam masyarakat.
2.
Budaya yang dimiliki setiap daerah
menjadikan ciri khas dan identitas bagi masyarakat setiap daerah tersebut.
3.
Budaya akan muncul kapan saja dengan
sejarahnya masing-masing yang harus dilestarikan keberadaanya dan salah satu
manfaatnya yaitu menjadi sarana hiburan.
4.2
Saran
1.
Diharapkan sumber daya siswa semakin
meningkat dengan adanya warisan budaya leluhur yang perlu untuk dipertahankan.
2.
Sebaiknya tindakan dalam hal pengakuan
budaya sendiri lebih ditingkatkan untuk menghindari permasalahan dalam
perebutan budaya.
3.
Sebagai masyarakat yang peduli terhadap
budaya sebaiknya aktif dalam perkembangan budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Roqib. Muhammad, M.Ag. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Purwokerto:
STAIN Purwokerto Press
Effendhie, Machmoed.
2000. Sejarah Budaya. Jakarta. CV ARMICO.
Kuntowijoyo. 1994.
Metodologi Sejarah. Yogyakarta.PT Tiara Wacana Yogya.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Adanya ciri khas yang dimiliki setiap kelompok merupakan
hal yang harus diakui keberadaannya. Melalui ciri yang ada maka akan tercipta
keindahan. Keindahan tersebut bisa dijumpai melalui ciri khas budaya yang
dimiliki setiap daerah.Seperti yang sudah diketahui, ragam budaya yang ada dinilai
keberadaannya mampu menjaga warisan leluhur yang ditiggalkan kepada anak
cucunya.Peninggalan yang diwariskan dari generasi-kegenerasi dan berkembang
dalam kelompok yang memilikinya bisa dikatakan sebagai budaya.Budaya atau bisa
dikatakan sebagai kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak
bisa dipisahkan, pola hidup yang menyeluruh dan bersifat kompleks, abstrak, dan
luas.Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Sebagai warisan
yang perlu dijaga, maka dalam kehidupan manusia harus menghargai budaya yang
telah dimiliki setiap kelompok. Menurut
Koentjaraningrat (1982:61) manusia dan
kebudayaan Indonesia budaya di dalam
masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan
artefak. Mentifak berkaitan dengan pamikiran dan falsafah dasar kebudayaan,
sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata mentifak dalam
kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat
berupa barang, tarian, teks, atau lagu.Ketiga aspek dari budaya berkaitan
antara satu lainnya dan membentuk sebuah kesatuan budaya karena penggunaan dan
pembuatan artefak membutuhkan sebuah sosiofak tertentu dengan landasan mentifak
masyaarakat tersebut.
Budaya sebagai warisan
yang dimiliki bersama oleh kelompok memiliki beberapa macam budaya.Salah
satunya yakni budaya lokal.Budaya lokal merupakan budaya asli yang dimiliki
setiap daerah atau kelompok dan memiliki ciri khas tersendiri.Menurut Judistira
(2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan
kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan
nasional.Bentuk dari budaya lokal itu sendiri tidak sama persis di setiap
daerah. Letak geografis juga mempengaruhi bentuk dari adanya macam budaya lokal
yang ada.Macam yang ada dalam wujud budaya dalam bentuk artefak bisa dimiliki
disetiap daerah dengan ciri khas yang berbeda.Misalnya saja yaitu kesenian,
yang disetiap daerah pasti memiliki kesenian yang berbeda baik dipandang
melalui pementasan maupun awal permulaannya.
Kesenian Jawa Timur
akan berbeda dengan kesenian Jawa Barat. Di Jawa Timur juga ditemui perbedaan kesenian
di setiap daerahnya.Karena tidak hanya ada satu kesenian saja yang dimiliki.Perbedaan
kesenian di Jawa Timur yang bisa diambil contoh yaitu daerah Banyuwangi
tepatnya desa Alas malang.Wujud kesenian yang ada di desa Alas malang ini yakni
adanya Kebo-keboan yang menjadi budaya masyarakat Banyuwangi tepatnya desa Alas
malang. Kesenian Kebo-keboan yang menjadi warisan budaya masyarakat Alas malang
memiliki ciri khas tersendiri dan diakui keberadaanya.
Untuk mengetahui apa
saja ciri khas yang ada di kesenian Kebo-keboan ini dan bagaimana awal
permulaan munculnya kebo-keboan, maka ditulislah karya tulis yang berjudul “Tradisi Kebo-keboan Desa Alasmalang.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, dapat diambil sebuah rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana
awal munculnya tradisi kebo-keboan dan
2. Bagaimana
respon masyarakat setempat?
3. Bagaimana
ritual kebo-keboan saat pelaksanaan?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui munculnya tradisi kebo-keboan
2.
Mengetahui keberadaan tradisi
kebo-keboan di kalangan masyarakat Alasmalang
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat
diambil dari penulisan karya tulis ini yakni:
1.
Menambah wawasan mengenai budaya lokal
di Banyuwangi tepatnya desa Alasmalang
2.
Dapat memperkenalkan budaya kebo-keboan
ke kalangan masyarakat yang lain
1.5
Metode Penilitian
1.5.1
Objek Penelitian
Objek
penelitian karya tulis ilmiah ini adalah:
1.
Kebo-keboan
2.
Masyarakat Alasmalang
1.5.2 Data dan Sumber Data
Dalam
memperoleh data-data untuk penyusunan karya tulis ini dengan memahami
pengertian budaya dan apa saja yang menjadi awal munculnya tradisi kebo-keboan
di desa Alasmalang.
1.5.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dalam karya tulis ini dengan cara membaca dan mengumpulkan
data dari lapangan serta mengambil data melalui internet. Langkah kerja dalam
teknik pengumpulan data ini meliputi, antara lain:
1) Mencari
buku-buku yang berkaitan dengan budaya atau kebudayaan
2) Membaca
serta memahami hal penting yang berkaitan dengan penelitian
3) Mengambil
data dari internet yang kemudian dipahami dan diubah kembali dengan bahasa
sendiri
4) Melakukan
wawancara dengan narasumber
1.5.4 Teknik Analisi Data
Teknik
pengambilan data yang akan dibahas dilakukan secara menyeluruh sesuai dengan
rumusan masalah dan tujuan dalam karya tulis ini. Kegiatan tersebut dilakukan
dengan tujuan memahami budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.
Secara
terinci pengambilan data dalam penelitian yang akan di analisis dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Mendiskripsikan
mengenai budaya secara umum dan budaya lokal secara khusus
b) Mengklasifikasikan
data
c) Pemahaman
budaya lokal kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang.
1.5.5 Prosedur Penelitian
Berdasarkan metode yang digunakan,
dalam penyelesaia makalah ini dilakukan dengan beberapa langkah diantaranya:
a) Tahap
persiapan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan data yang sesuai dengan topik karya
tulis
b) Tahap
pelaksanaan, yaitu kegiatan menganalisis, mendiskripsikan hasil data yang telah
dikumpulkan
c) Tahap
penyelesaian, yaitu kegiatan untuk memulai menyusun isi makalah mulai bab
pertama.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Kebudayaan
yang mempunyai beberapa pengertian namun intinya sama yaitu hasil karya atau
cipta suatu daerah. Menurut Edward Burnett
Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.Kebudayaan dalam arti sempit sering diartikan sebagai kesenian. Dalam
arti luas, kebudayaan setidaknya meliputi tujuh sistem, yakni: (1) sistem
religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3)
sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata
pencaharian; dan (7) system teknologi dan peralatan. Namun demikian khas suatu kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam
unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara.
Dalam hal upacara, budaya Jawa tepatnya Banyuwangi desa
Alasmalang memiliki ciri khas dengan tradisinya yang tergabung dalam rangkaian
upacara adat yakni tradisi kebo-keboan.Tradisi kebo-keboan ini merupakan salah
satu macam budaya lokal yang dimiliki masyarakat Banyuwangi.Seiring
perkembangan zaman, tradisi kebo-keboan semakin terkenal dikalangan masyarakat
Banyuwangi khususnya dan masyarakat diluar Banyuwangi umumnya.Tradisi kebo-keboan
muncul pertama kali sejak adanya krisis pangan yang melanda masyarakat
Alasmalang.Diperkirakan tradisi ini muncul sebagai tanda kebesaran Tuhan dalam
menolong umatnya yang tertimpa musibah.
Dalam hal pelestarian budaya yang dimiliki setiap daerah,
tradisi kebo-keboan ini dilakukan setiap tahunnya dalam acara yang
sacral.Masyarakat berbondong ikut serta dalam acara ini dengan maksud dan
tujuan yang jelas.Kebersamaan antar masyarakat semakin terpupuk dalam
melaksanakan rangkaian acara kebo-keboan.Budaya yang salah satu manfaatnya
sebagai sarana hiburan, maka dalam tardisi kebo-keboan ini berlangsung banyak
peserta yang hadir dan penonton yang berdatangan untuk menyaksikan baik dari
warga Alasmalang sendiri maupun dari luar Desa Alasmalang.Pertahanan yang kuat
dalam melestarikan budaya lokal diaharapkan mampu menjaga tradisi kebo-keboan
ini dengan baik.Supaya hasil cipta suatu daerah atau budaya yang dimiliki
setiap daerah tidak hilang keberadaannya.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Awal Munculnya Kebo-keboan dan Respon Masyarakat
Kesenian
di Banyuwangi tepatnya Desa Alasmalang yakni kebo-keboan sudah ada sejak
abad-18.Keberadaan kesenian kebo-keboan yang sudah lama muncul itu kini menjadi
tradisi masyarakat Alasmalang.Dalam menjelang bulan suro masyarakat Alasmalang
beramai-ramai melaksanakan tradisi ini.Kebo-keboan bermula dari adanya
permasalahan besar yang melanda masyarakat Alasmalang.Masyarakat yang mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani pada saat itu mengalami gagal panen
besar-besaran atau masyarakat menyebutnya sebagai pagebluk. Pagebluk sama
artinya dengan larang pangan. Gagal panen yang terjadi disebabkan akibat hama
tikus yang berkepanjangan. Sehingga membuat lahan petani menjadi rusak dan
berakibat sulit untuk bekerja. Selain peristiwa pagebluk, masyarakat saat itu
terserang penyakit yang tidak diketahui apa penyebabnya. Berbagai obat
diberikan, namun tidak ada satupun yang bisa menyembuhkan penyakit yang
menyerang masyarakat Alasmalang itu.Penyakit itu sangat menyiksa masyarakat
apalagi dengan bersamaannya gagal panen yang sedang melanda.Menyaksikan masyarakat
yang resah dengan masalah yang melanda, membuat sesepuh masyarakat Alasmalang
untuk bertindak menyelamatkan dari permasalahannya.Sesepuh masyarakat
Alasmalang itu bernama Buyut Karti.
Buyut
Karti merasa iba melihat peristiwa itu, beliau melakukan meditasi di suatu
bukit.Setelah meditasi akhirnya datanglah sebuah wangsit untuk Buyut Karti.
Beliau di perintahkan untuk melakukan ruwatan atau ritual dengan mendadani
beberapa orang seperti hewan kerbau lalu bertingkahlaku layaknya hewan kerbau
dan mengagungkan Dewi Sri yang dipercaya sebagai simbol kemakmuran.Kemudian
kembalilah Buyut Karti ke Desa Alasmalang setelah selesai dengan meditasinya.
Mengenai apa yang telah didapatnya lalu disampaikanlah kepada masyarakat untuk
menggelar ritual tersebut. Dari peristiwa ini dijulukilah ritual
kebo-keboan.Alasan yang menjadikan mengapa ritual tersebut harus meniru hewan
kerbau dan mengagungkan Dewi Sri, karena masyarakat yang mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani sehingga digunakannya hewan kerbau. Karena
hewan ini menjadi lambang hubungannya dengan petani saat di sawah dan Dewi Sri
dianggapnya sebagai symbol kemakmuran. Tanpa menentang apa yang diperintahkan
Buyut Karti, mereka pun beramai-ramai melaksanakan ritual tersebut dan berharap
supaya cepat hilangnya masalah yang sedang melanda masyarakat.
Setelah
berjalannya ritual ini dan diiringi dengan memohon kepada Yang Maha Kuasa, maka
bebaslah masyarakat dari masalah yang sudah melandanya.Peristiwa yang dialami
petani yang dulunya mengalami larang pangan kini menjadi mudah setelah
dilakukannya ritual tersebut dan memohon kepada Tuhan.Selain itu, penyakit yang
melanda masyarakatakhirnya mendadak sembuh seperti datang sebuah
keajaiban.Masyarakat Desa Alasmalang bersyukur lepas dari permasalahan yang
membelit mereka. Sebagai rasa syukur dan menghargai apa yang sudah Buyut Karti
lakukan untuk membantu orang-orang yang kesusahan, maka ritual Kebo-keboan ini
dijadikannya sebuah tradisi masyarakat Desa Alasmalang. Setiap bulan Suro
digelarlah tradisi kebo-keboan ini dengan peran masyarakat berdandan sebagai
hewan kerbau.
Tradisi
yang digelar masyarakat Alasmalang awalnya berjalan lancar.Namun, datangnya
perbedaan pendapat oleh masyarakat membuat tradisi yang sudah dijalankan
disetiap bulan Suro ini hampir tersisihkan. Perbedaan tersebut berupa anggapan
yang tidak sejalan oleh sebagian masyarakat karena beranggapan bahwa ritual
kebo-keboan menyimpang dari agama islam. Mereka beranggapan bahwa tradisi
tersebut menyembah batu yang terdapat pada salah satu ritual ritual tradisi
kebo-keboan.Akibatnya dari permasalahan tersebut menyebabkan tradisi
kebo-keboan vakum selama 30 tahun.Kemudian lahir seorang putra keturunan Buyut
Karti bernama Wasono yang saat itu menjabat sebagai kepala dusun Krajan desa
Alasmalang sadar bahwa budaya yang dibawa mbah buyutnya perlu dilestarikan dan
dibangun kembali walaupun banyak berbagai pihak yang kurang setuju dengan
diadakannya kembali tradisi kebo-keboan. Namun, Pak Wasono tetap teguh dengan
tujuannya mempertahankan peninggalan mbah buyutnya yang sudah vakum 30 tahun
akibat permasalahan yang ada pada saat itu.Berbagai usaha Pak Wasono dilakukan
sampai akhirnya kembalilah tradisi tersebut untuk dilestarikan masyarakat
Alasmalang.Setelah melewati berbagai konflik yang ada pada tradisi kebo-keboan,
sampai sekarang tradisi tersebut sudah berjalan dengan baik disetiap bulan
Suro.
3.2
Ritual Tradisi Kebo-keboan
Ritual tradisi
kebo-keboan dilakukan dengan upacara lalu ider bumi
yangberlangsung dengan diawali memasang pintu gerbang yang terbuat dari hasil
bumi, menanam segala jenis tanaman di tempat-tempat tertentu yang akan dilewati
kebo-keboan ini, tanaman tersebut umumnya jenis palawija. Tanaman ini ditanam
berfungsi sebagai rasa syukur kepada sang maha pencipta atas rezeki yang telah
diberikan kepada masyarakat Desa Alasmalang yang sudah lepas dari
permasalahannya. Selain itu, tanaman ini juga memiliki fungsi sebagai alur
jalan kebo-keboan, pelaku yang menjadi kebo adalah warga Alasmalang yang
bersedia berperan sebagai kebo jadi-jadian.Umumnya pelaku kebo-keboan adalah
kaum lelaki karena dianggap lebih kuat dan memiliki tanggung jawab besar dalam
keluarga.Namun apabila dari kaum perempuan ada yang bersedia untuk berperan
dalam kebo-keboan juga diperbolehkan.
Dalam
melakukan tradisi kebo-keboan, ada beberapa urutan dalam pelaksanaannya.Yakni
dimulai dari ritual; (1) ngandang, (2) barikan, (3) ider bumi.Disetiap urutan
pelaksanaan ritual kebo-keboan, peran masyarakat selalu hadir dan ada maksud
tujuan sendiri-sendiri setiap urutannya.
3.1.1
Ngandang
Pelaksanaan
kebo-keboan bagian pertama yakni ngandang, semua peserta upacara berkumpul
dalam lokasi yang dibuat oleh masyarakat dengan pembatas pagar, selanjutnya di
tempat tersebut ditaburi ramuan petung tawar oleh seorang pawang yang
ditugaskan untuk menyampaikan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam upacara
ramuan petung tawar tersebut. Maksud dari nama petung tawar yakni menunjukkan
bahwa petung sama artinya dengan tujuh dan tawar sama dengan penawar, lebih
jelasnya menjadi tujuh penawar. Tujuh penawar tersebut mengingatkan kepada kita
tentang pola kehidupan yang terdiri dari:
a.
Bapak
b.
Ibu
c.
Wali
d.
Anak
e.
Pancer sukma (satu keturunan)
f.
Panutan (pemberi kehidupan)
g.
Sandang, pangan dan papan
Dalam
ritual upacara ini dijelaskan oleh seorang yang bertugas dengan sebutan Boldrah
(juru penerang) tentang ritual Ngandang.
3.1.2
Barikan
Ritual
selanjutnya setelah ngandang yakni barikan yang dilakukan oleh semua peserta
pelaksana untuk menuju area ditengah sepanjang jalan dengan duduk berbanyar
mengadakan selamatan.Pada ritual pelaku kebo-keboan tidak ikut serta dan tetap
tinggal di kandang bersama Dewi Sri atau Dewi Pangan.Materi sesaji yang ada
dalam ritual barikan ini, yakni berupa; (1) jenang suro, (2) tumpeng, (3)
panggang ayam (peteteng), (4) peras.
Sama
halnya saat upacara yaitu untuk do’a disampaikan oleh pawangnya. Do’a yang
disampaikan pada saat barikan ini seorang pawang menjelaskan warna-warni sesaji
yang ada dengan tujuan supaya kehidupannya melalui permohonan kepada Tuhan Yang
Maha Esa diberikan keselamatan, kemakmuran, kesuburan, dan dijauhkan dari
segala bentuk malapetaka.
3.1.3
Ider Bumi
Setelah
selesai ritual pertama dan kedua dilanjutkan yang terakhir yakni ider
bumi.Selesai melaksanakan selamatan seluruh peserta yang tergabung kembali ke
kandang mempersiapkan ritual ider bumi.Seluruh peserta berbaris menuju 4
penjuru alam yaitu bagian barat ditandai dengan adanya watu gajah, bagian
selatan ditandai watu tumpeng, bagian timur ditandai adanya watu loso, bagian
utara dengan adanya watu kodok. Disetiap penjuru ditaruh rangkaian peras yang
terbuat dari sebutir kelapa, 1 botol kecil minyak tanah, 2 cengkel pisang,
racikan bumbu dapur, lawe dibuat dari benang, satu pajeg gula merah. Tujuan
dari berbagai rupa yang disajikan yaitu sebagai symbol permohonan do’a agar
upaya bertani cocok tanaman membuahkan hasil maksimal dan dijauhkan dari segala
bentuk hama pada tanamannya. Keberadaan batu-batu tersebut sampai sekarang
masih ada sebagao tanda untuk melakukan tradisi kebo-keboan setiap tahunnya.
Ider
bumi dilanjutkan dengan diawali Dewi Sri yang ditandu oleh beberapa pengawal
dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan sekujur
tubuh dilumuri arang dan asesoris berupa rambut palsu berwarna hitam berserta
tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher dan
bertingkah laku aneh layaknya hewan kerbau.Kebo-keboan yang berlangsung dihalau
oleh para petani yang membawa hasil panennya. Peserta yang terlibat dalam
ritual ini adalah pemeran kebo-keboan, kesenian barong, Dewi Sri didampingi
dayang, petani, dan kesenian-kesenian banyuwangi lainnya. Selain itu, seluruh
anggota keluarga tiap masing-masing kepala keluarga diwajibkan ikut serta dalam
tradisi ini, karena dipercayai apabila tidak ikut serta akan mengalami
kesurupan yang susah untuk disembuhkan.
Pada
saat ider bumi berlangsung yang berjalan menyusuri desa, ada seseorang yang
menghambur-hamburkan beras kuning dengan maksud untuk menolak balak.Saat tiba
di perempatan dilakukan bedah air yang diirigi dengan berebut padi oleh
masyarakat. Pada bagian berebut padi ini apabila ada yang mempercayainya maka
akan membawa berkah yakni tanaman akan bertumbuh dengan baik. Setelah itu
seluruh peserta digiring ke sawah, semua pelaku kebo-keboan masuk ke dalam
sawah termasuk Dewi Sri untuk memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi Sri
membagikan benih padi dan lagu pujian dikumandangkan untuk mengagungkan dewi
ini. Selama ritual ini dilakukan apabila ada kebo-keboan yang kesurupan akan
berubah menjadi jinak dan mendekati Dewi Sri untuk tunduk. Ritual ini diakhiri
pembajakan sawah yang dilakukan oleh dua orang kebo-keboan yang berperilaku
layaknya kerbau nyata yang sedang membajak sawah. Kemudian benih-benih padi di
hambur-hamburkan di tengah sawah, seluruh warga Alasmalang masuk kedalam sawah
dan berebut benih padi yang dipercayai akan membawa berkah. Proses pembajakan
sawah yang sudah selesai maka seluruh peserta akan kembali ke padepokan.
BAB
IV
SIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan dan
saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut.
4.1
Simpulan
1.
Pelestarian budaya dapat dilakukan
dengan melestarikan produksi dan konsumsi symbol di dalam masyarakat melalui
pelestarian aspek-aspek pembentuk budaya di dalam masyarakat.
2.
Budaya yang dimiliki setiap daerah
menjadikan ciri khas dan identitas bagi masyarakat setiap daerah tersebut.
3.
Budaya akan muncul kapan saja dengan
sejarahnya masing-masing yang harus dilestarikan keberadaanya dan salah satu
manfaatnya yaitu menjadi sarana hiburan.
4.2
Saran
1.
Diharapkan sumber daya siswa semakin
meningkat dengan adanya warisan budaya leluhur yang perlu untuk dipertahankan.
2.
Sebaiknya tindakan dalam hal pengakuan
budaya sendiri lebih ditingkatkan untuk menghindari permasalahan dalam
perebutan budaya.
3.
Sebagai masyarakat yang peduli terhadap
budaya sebaiknya aktif dalam perkembangan budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Roqib. Muhammad, M.Ag. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Purwokerto:
STAIN Purwokerto Press
Effendhie, Machmoed.
2000. Sejarah Budaya. Jakarta. CV ARMICO.
Kuntowijoyo. 1994.
Metodologi Sejarah. Yogyakarta.PT Tiara Wacana Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar