Sabtu, 11 Agustus 2018

Perbandingan Gerak Sejarah Menurut Auguste Comte dan Giambatistta Vico



Perbandingan Gerak Sejarah
 Menurut Auguste Comte dan Giambatistta Vico

BAB I. PENDAHULUAN


            Salah satu topik penting yang dibahas oleh para sejarawan adalah masalah manusia dalam sejarah, yaitu tentang kebebasan manusia atau peranan manusia dalam sejarah. Masalah yang berkaitan dengan filsafat sejarah tersebut tidak dapat dipecahkan secara absolut, karena memiliki jawaban yang bersifat relative atau tidak absolut.
            Menganalisis sejarah (kejadian sejarah) berarti mencari hakekat dari kejadian-kejadian tersebut. Hasil analisis tersebut akan disusun dan diceritakan kembali dalam cerita sejarah. Analisis sejarah yang objektif,bila analisis itu didasarkan pada sumber-sumber yang ditemukan, peranan pikiran manusia yang menganalisis (subjek), maka hanya terbatas pada kemampuan mencari adanya hubungan antara cerita dan sumber-sumber sejarah tersebut.
            Gerak sejarah juga ditentukan oleh hukum alam. Kehidupan sebuah kebudayaan dan lainnya dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum.
            Ada juga yang berpendapat bahwa gerak sejarah bisa di tentukan oleh ikhtiyar, usaha, dan perjuangan manusia, usaha juga bisa menghasilkan perubahan nasib yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka, gerak sejarah merupakan perimbangan antara kehendak Tuhan dan usaha manusia (perpaduan otonomi dan heteronomi).
            Gerak sejarah hanya bertujuan untuk melahirkan, membesarkan, mengembangkan, dan meruntuhkan kebudayaan. Mempelajari sejarah bertujuan untuk mengetahui lebih detail tentang suatu kebudayaan. Nasib suatu kebudayaan dapat diramalkan, sehingga untuk seterusnya kebudayaan itu dapat menentukan sikap hidupnya.
            Dari permasalahan diatas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Apakah yang dimaksud dengan gerak sejarah ?
b.      Bagaimanakah pandangan gerak sejarah menurut Auguste Comte ?
c.       Bagaimanakah pandangan gerak sejarah menurut Giambatistta Vico ?
d.        Bagaimanakah persamaan dan perbedaan gerak sejarah berdasarkan pandangan Auguste Comte dan Giambatistta Vico ?
            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Memahami pengertian gerak dan teori gerak sejarah
b.      Memahami pandangan gerak sejarah menurut Auguste Comte dan Giambatistta Vico ?
c.       Menganalisis persamaan dan perbedaan gerak sejarah menurut Auguste Comte dan Giambatistta Vico

BAB II. PEMBAHASAN


             Tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis. (Poerwantara, 1992, p. 20)
          Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian dan hubungan-hubungan antara pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
          Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya. (Al-Sarqawi, 1981, pp. 114-115)
          Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan. Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah.
          Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.
          Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia. Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
1.      Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
2.      Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
3.      Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan. Dengan dasar ideologi ini sebagai objek yang terlepas dari subjektivitas manusia, bukan bagian dari manusia dan bukan pula hasil olah budi manusia, tetapi harus memiliki benang merah yang menghubungkannya dengan manusia;
4.      Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.
            Jiwa dari teori-teori sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak yang tumbuh dan berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami. (Poerwantara, 1992, p. 47)
            Menurut Muthahhari, pengertian evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan transformasi. Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke arah heterogenitas. (Muthahhari, 1984, p. 25)
            Dalam proses evolusi sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah dapat diterangkan sebagai berikut.
1.      Pandangan sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat. Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
2.      Gerak sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak kemajuan manusia.
3.      Pengaruh alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
4.      Kekuatan penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini membuka jalan bagi Cauvinisme.
5.      Teori evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.
6.      Teori historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.
            Menurut Ankersmit (1987: 17), umumnya terdapat tiga hal yang menjadi kajian filsafat sejarah spekulatif, yaitu pola gerak sejarah, motor yang menggerakkan proses sejarah, dan tujuan gerak sejarah. Melalui tiga hal ini, lebih-lebih untuk hal yang ketiga, sistem-sistem sejarah spekulatif tidak hanya berbeda dengan pengkajian sejarah “biasa” karena secara khusus meneropong masa depan, juga, dalam pengungkapannya mengenai masa silam, cara kerja seorang filsuf sejarah spekulatif berbeda dengan cara kerja seorang peneliti sejarah yang “biasa”. Apa yang ditemukan dan diungkapkan oleh seorang peneliti sejarah.

                Aguste Comte mengakui bahwa tujuan ilmu pengetahuan itu pada akhirnya mengarah kepada pencapaian kekuasaan, sebagaimana semboyan mengatakan ”knowladge is power” namun kita tidak boleh melupakan bahwa disamping itu masih terdapat tujuan lain yang lebih tinggi, yaitu bahwa ilmu pengetahuan memberi kepuasan kepada manusia melalui pengenalan hukum-hukum gejala (fenomena) alam semesta, dan dengan mengenal hukum-hukum gejala tadi, manusia akan mampu meramalkan, dan bahkan mampu pula merubah alam itu untuk kepentingannya (Wibisono, 1982, p. 22)
            Sejarah universal Comte adalah gerak kemajuan yang lurus dari keadaan primitive, kearah tingkatan yang lebih tinggi dan lebih baik. Kemajuan ini lebih dapat diamati dalam bidang intelektual daripada moral.
            Filsafat positivistik Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam fikiran manusia. Matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Aguste Comte terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia, yaitu: teologik, metaphisik, dan positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya. Jenjang teologik ini dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu :
a.       Animism atau fetishisme. Memandang bahwa setiap benda itu memiliki kemauannya sendiri.
b.      Polytheisme. Memandang sejumlah dewa memiliki menampilkan kemauannya pada sejumlah obyek.
c.       Monotheisme. Memandang bahwa ada satu Tuhan yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek.
(Muhadjir, 2001, p. 70)
            Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. hukum ini menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik dan positif.
            Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:
Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.
            Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat (pengetahuan absolut) mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraktsi-abstaksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya, yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini.
            Untuk menggambarkan perbedaan yang ditekankan Comte, bayangkanlah bahwa kita akan menjelaskan suatu gejala alam seperti angin taufan. Dalam tahap teologis, gejala serupa itu akan dijelaskan sebagai hasil tindakan langsung dari seorang Dewa angin atau Tuhan. Dalam tahap metafisik gejala yang sama itu akan dijelaskan sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah. Dalam tahap positif angin taufan itu akan dijelaskan sebagai hasil dari suatu kombinasi tertentu dari tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembaban, dan suhu – semua variabel yang dapat diukur, yang berubah terus menerus dan berinteraksi menghasilkan angin taufan itu.
            Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak Dewa itu diganti dengan kepercayaan akan Satu Yang Tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
            Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
            Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris daripada kemutlakan metafisik
            Giambastita Vico sebagai seorang ahli hukum, sejarawan, dan filsof begitu terkenal atas teorinya tentang daur kultural spiral. Dalam teori tersebut, Vico membuat suatu periodisasi sejarah manusia berdasarkan pola pikirnya. Pertama, manusia berada dalam kekuasaan para dewa. Manusia mengikuti jalan hidupnya melalui mitos dan hal-hal yang lain yang berbau irrasional seperti mereka yang menduduki jabatan adalah mereka yang dapat berkomunikasi dengan dewa. Kedua, manusia dalam kuasa para pahlawan. Manusia akan tunduk pada manusia lainnya apabila mereka ditundukkan secara fisik. Pada periode ini manusia mulai menggunakan akalnya untuk berpikir apakah benar manusia yang berkuasa adalah pilihan Tuhan. Terakhir, manusia telah mengenali dirinya sendiri kemudian mendirikan kerajaannya sendiri yang memiliki tatanan tertentu untuk menciptakan keadilan social. (Madjid, 2011, pp. 123-124).
            Sidi Gazalba menguraikan gerak sejarah menurut Vico adalah berbentuk spiral, jadi selalu ada perulangan kembali, tetapi tidak pada titik pangkal, melainkan ketitik yang lebih tinggi, sehingga seluruhnya merupakan kemajuan. Teori Vico dapat dianggap sebagai sintesis dari gerak lingkar dan proses saling hubung, antara pendapat sejarah berulang lagi dan sejarah berlaku kembali. Vico menyatukan ulangan dengan urutan atau ulangan dengan perkembangan (Sidi Gazalba dalam (Wahyudi, 2014, p. 181)
            Menurut Vico, lingkaran itu berlaku bagi setiap bangsa. Masing-masing mengalami perkembangandalam tiga tingkat yaitu ketuhanan atau keagamaan, kepahlawanan dan kemanusiaan. Tingkat terakhir adalah tingkat peradaban sekaligus merupakan tingkat keruntuhan. Sesudah itu bangsa lain yang masih biadab mengambil alih tugas bangsa yang telah berakhir sejarahnya. (Madjid, 2011)
            Vico dalam karyanya dalam memformulasikan sejarah dalam bentuk siklus regular. Metodenya paling tidak didasarkan pada tiga asumsi dasar yaitu :
a.       Bahwa periode-periode sejarah tertentu mempunyai watak dan karakter umum yang mewarnai setiap detail peristiwa dan muncul kembali pada periode lain sehingga dua periode yang berbeda mungkin saja mempunyai karakter yang sama.
b.      Periode-periode yang sama tersebut cenderung terulang pada keadaan atau kondisi yang sama atau mirip pada periode yang lain. Umpanya setiap periode heroic diikuti oleh suatu periode klasik dimana fikiran mengendalikan imanginasi, prosa mengatasi puisi, industry mengalahkan agrikultur, dan moralitas damai mengatasi yang berdasarkan perang. Setelah itu, kemunduran atau kehancuran menyusul sampai pada munculnya barbarism dalam suasana atau situasi yang baru. Kadang Vio juga menjelaskan teori siklusnya mulai dari kekuatan brutal, kekuatan heroic (keberanian), keadilan si pemberani, inisiatif sang brillian yang orisinal, relfeksi konstruktif, dan terakhir keserakahan si pemboros yang menghancurkan segala yang sudah dibangun.
c.       Gerakan siklusnya lebih dekat dengan gerak spritaldari pada gerak rotasi. Sejarah itu sendiri tidak pernah berulang, tetapi bersambung melalui fase-fase yang datang dari yang sudah lewat dengan bentuk yang berbeda. (Collingwood, 1976, pp. 67-68)
      Madjid dalam bukuya Pengantar Ilmu Sejarah mengatakan Comte seperti Vico menempatkan dunia ide dalam mengaji masyarakat, bidang kajiannya inilah yang kemudian menjadi embrio ilmu kemasyarakatan atau sosiologi. Dunia ide yang dimaksud adalah cara berpikir manusia yang berkembang dalam tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif. Pada tahap teologis, akal budi manusia secara alamiah mencari tahu tentang sebab terjadinya kehidupan dan kemana kehidupan itu bermuara. Pada tahap metafisik, akal budi manusia tidak lagi percaya pada kekuatan supranatural tetapi mencari sebabakibat segala sesuatu terkait pada kekuatankekuatan yang abstrak. Tahap terakhir yakni tahap positifistis dimana akal budi manusia meninggalkan kepercayaan pada kekuatan supranatural dan abstrak berganti pada penelitian ilmiah yang dipandang lebih rasional. (Madjid, 2011, p. 181)
Perbedaan gerak sejarah menurut Auguste Comte dan Giambatistta Vico
No
Auguste Comte
Giambatistta Vico
1
Fase pertama adalah : Zaman teologis atau tahap teologis
Orang mengarahkan rohnya keapada hakekat-hakekat batiniah di mana orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak dan orang yakin bahwa dibelakang setiap kejadian terseira suatu pernyataan kehendak yang secara khusus.

Fase pertama oleh Vico disebut dengan masa ketuhanan. Masa ini bermula pada waktu suatu bangsa mulai meninggalkan secara bertahap kehidupan primitif sebelumnya, untuk masuk pada masa ketuhanan. Masa ini sendiri diwarnai dengan berkembangnya berbagai khurafat dan rasa takut terhadap fenomena-fenomena alam yang dipandang sebagai teofani kehendak Ilahi, baik yang menunjukkan kemarahan-Nya atau keridhaan-Nya. Selain itu masa ini juga didominasi oleh ide ruh baik dan ruh jahat yang menentukan nasib manusia. Lebih jauh lagi masa ini adalah masa mitologi animistis yang dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan kependetaan yang menyatakan bahwa hak-haknya dalam melaksanakan apa yang dipandangnya sebagai  hukum didasarkan pada kehendak tertinggi Ilahi.

2
Fase kedua adalah fase zaman metafisika. Pada zaman ini sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan dari zaman teologis dimana kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa diganti dengan kekuatan abstrak dengan pengertian-pengertian atau dengan pengadaa-pengadaan yang lahiriah dan kemudian dipersatukan dalam suatu yang bersifat umum yang disebut dengan alam. Pengetahuan pada zaman ini desiebut metafisis.

Fase yang kedua adalah zaman Heroik atau masa para pahlawan. Fase ini bermula pada waktu masyarakat masa ketuhanan bersatu dan masuk pada kesatuan yang lebih besar guna menghadapi bahaya luar atau disintegrasi internal. Pada fase ini watak manusia begitu didominasi cinta kepada kepahlawanan dan pemujaan kekuatan, agama, sastera, dan filsafat mengambil corak mitologis khusus. Sementara kekuasaan pada masa ini telah beralih dari tangan para pendeta dan tokoh agama ke tangan panglima perang dan ksatria. Dalam  kondisi yang demikian kekuatan menjadi hukum yang berlaku dan kekuatan bers enjata yang menentukan kebenaran. Kondisi yang demikian ini erat kaitannya dengan sistem aristokratis yang didasarkan pada pemisah penuh antara hak-hak tuan dan hak-hak budak. Pada waktu masyarakat awam, sebagai warganegara, memperoleh hak-hak mereka, masyarakat.
3
Fase ketiga : adalah zaman positif atau ilmiah
Zaman positif atau ilmiah
Pada zaman ini semua orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak atau absolut baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisiS fakta yang dapat diamati dengan panca indra dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Semua dipertanggung jawablan dengan ilmiah sebab memang ada bukti faktualnya. Pengetahuan yang faktual yan ilmiah itulah pengetahuan yang sejati.

Fase ketiga :  adalah fase humanistis. Masa ini diwarnai dengan demokrasi, pengakuan kesamaan manusia, dan keruntuhan sistem otoriter. Ia adalah masa rasional yang mempercayai manusia dan berupaya untuk menguasai alam di mana fenomena-fenomenanya kini lagi dipandang erat kaitannya dengan amarah dan keridhaan Tuhan. Namun dalam masa ini, menurut Vico, terkandung benih keruntuhan dan kehancuran. Sebab demokrasi dan pernyataan persamaan anggotaanggota masyarakat segera akan mendorong rakyat awam mempunyai sikap yang ekst rem dalam menuntut hak-hak mereka yang secara bertahap  kemudian mereka peroleh. Tapi ini membuat semakin meningkatnya konflik antara kelas masyarakat, bukannya meredakannya, sehingga melemahkan hubungan-hubungan tradisional antara kelas-kelas itu dan membangkitkan keraguan terhadap sebagian nilainilai tradisional yang diterima tradisi-tradisi sosial yang diakui. Akibatnya adalah terjadi disintegrasi dan kerusuhan yang merupakan pertanda berakhiriya daur kebudayaan seluruhnya. Apabila suatu masyarakat telah memasuki kondisi disintegrasi yang demikian ini, sulitlah untuk melakukan perbaikan internal dan tidak ada yang tinggal kecuali ekspansi asing dari luar atau disintegrasi sosial total dari dalam, di mana setelahnya masyarakat kembali pada kehidupan barbar guna memulai daur kultural yang baru. Setelah itu – dengan melalui pola yang sama - dengan secara bertahap masyarakat itu pun beranjak dari masa ketuhanan ke dalam masa para pahlawan dan kemudian masa humanistis yang membuatnya kembali pada ke hidupan barbar lagi. Kondisi yang demikian ini berlaku terus-menerus.


                Irham Nugroho dalam Jurnal Cakrawala, Vol. XI, No.2 Desember 2016 menguraikan kelebihan dan Kekurangan mengenai positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Yaitu sebagai berikut:
a.       Kelebihan Positivisme
1)      Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2)      Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
3)       Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.
4)      Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
5)      Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
b.      Kelemahan Positivisme
1)      Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisikbiologik.
2)      Akibat dari ketidak percayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3)      Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
4)      Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5)      Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6)      Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincah-seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus-yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.
                Menurut Aguste Comte, pengertian perkembangan merupakan proses dari berlangsungnya sejarah umat manusia, diberi arti isi dan arti yang positif, dalam arti sebagai suatu gerak yang menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi atau lebih maju. Baginya perkembangan merupakan penjabaran segala sesuatu sampai pada obyeknya yang tidak personal.melalui pemahaman ajaran tentang hukum tiga tahap, karena hukum inilah yang ternyata merupakan unsur pokok seluruh pandangan filsafatnya, sehingga melalui hukum itu pula, akan dapat dilacak garis-garis pembatas yang telah ia berikan tentang ajaran mengenal, penjelasan tentang masyarakat di Barat serta sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, serta dasar-dasar yang ia berikan untuk memperbaharui keadaan masyarakat. (Nugroho, 2016).
                Effat al – Sharqawi dalam gerak sejarah menguraikan persaman pandangan gerak sejarah Auguste Comte dan Vico. Comte termasuk kaum progresif yang memakai teori organis dalam menginterpretasikan watak masyarakat. Menurutnya, masyarakat adalah kelompok organis kolektif, dan seperti halnya berbagai fenomena dalam alam, matematika dan biologi tunduk di bawah hukum-hukum tertentu, masyarakat juga, tegak di atas suatu hukum umum. Berdasarkan hukum itu sendiri, misalnya, kita bisa membagi berbagai fase yang dilalui peradaban menjadi tiga fase, yaitu fase teologis, fase metafisis, dan fase positif. Hukum ketiga fase itu diikhtisarkan Comte dari sejarah ilmu pengetahuan dan terpengaruh oleh tiga klasifikasi yang dikemukakan Vico, seperti akan diuraikan nanti dalam kajian ini. Ide kemajuan diperbincangkan Comte dalam kerangka dinamisme sosial yang dipandangnya sebagai teori umum kemajuan manusia yang secara ringkas, di antaranya, dinyatakan bahwa pada akhirnya manusia akan mampu mengendalikan alam. Dalam filsafat Comte kemajuan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kemajuan intelektual, kemajuan material, dan kemajuan moral. Filsafat Comte itu terpengaruh oleh ide perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam, namun ia mempergunakan sejarah dalam kajiannya tentang perkembangan intelek (pikiran) manusia dan fase-fase yang dilaluinya. (al-Sharqawi, 2007)
            Berikut adalah persamaan pandangan gerak sejarah menurur Comte dan Vico.
No
Persamaan Pandangan Gerak Sejarah Menurut Comte dan Vico
1
Menganut gerak sejarah maju
2
Berbagai fase yang dilalui peradaban menjadi tiga fase, yaitu fase teologis, fase metafisis, dan fase positif. Hukum ketiga fase itu diikhtisarkan Comte dari sejarah ilmu pengetahuan dan terpengaruh oleh tiga klasifikasi yang dikemukakan Vico, seperti akan diuraikan nanti dalam kajian ini. Ide kemajuan diperbincangkan Comte dalam kerangka dinamisme sosial yang dipandangnya sebagai teori umum kemajuan manusia yang secara ringkas, di antaranya, dinyatakan bahwa pada akhirnya manusia akan mampu mengendalikan alam.
3
Berupaya mencarikan landasan posisi manusia dalam alam fisik dan mereka menganggap hukum-hukum sejarah adalah sama dengan hukumhukum alam. Dari segi lain mereka mempercayai kemajuan. Tapi landasan apakah yang bisa dipakai untuk memandang bahwa alam adalah maju secara terus ke arah suatu tujuan?

BAB III. KESIMPULAN


            Setiap saat masyarakat selalu mengalami perubahan. Jika dibandingkan apa yang tejadi saat ini dengan beberapa tahun yang lalu. Maka akan banyak ditemukan perubahan baik yang direncanakan atau tidak, kecil atau besar, serta cepat atau lambat. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan sosial yang ada. Dimana manusia selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu manusia selalu mencari sesuatu agar hidupnya lebih baik.    
            Menurut Giovanni Battista Vico, gerak sejarah itu berbentuk spiral. Jadi, selalu ada pengulangan dalam sejarah, tapi tidak pada titik yang sama, melainkan ke titik yang lebih tinggi, lebih maju.
            Teori Vico dapat dianggap sebagai sintesa dari gerak lingkar dan proses salikg hubung, antara pendapat sejarah yang selalu berulang dan yang mengatakan bahwa sejarah hanya berlaku sekali. Vico menyatukan ulangan dengan urutan atau ulangan dengan perkembangan.
            Auguste Comte termasuk kaum progresif yang memakai teori organis dalam menginterpretasikan watak masyarakat. Menurutnya, masyarakat adalah kelompok organis kolektif, dan seperti halnya berbagai fenomena dalam alam, matematika dan biologi tunduk di bawah 12 hukum-hukum tertentu, masyarakat juga, tegak di atas suatu hukum umum. Berdasarkan hukum itu sendiri, misalnya, kita bisa membagi berbagai fase yang dilalui peradaban menjadi tiga fase, yaitu fase teologis, fase metafisis, dan fase positif. Hukum ketiga fase itu diikhtisarkan Comte dari sejarah ilmu pengetahuan dan terpengaruh oleh tiga klasifikasi yang dikemukakan Vico, seperti akan diuraikan nanti dalam kajian ini. Ide kemajuan diperbincangkan Comte dalam kerangka dinamisme sosial yang dipandangnya sebagai teori umum kemajuan manusia yang secara ringkas, di antaranya, dinyatakan bahwa pada akhirnya manusia akan mampu mengendalikan alam. Dalam filsafat Comte kemajuan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kemajuan intelektual, kemajuan material, dan kemajuan moral. Filsafat Comte itu terpengaruh oleh ide perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam, namun ia mempergunakan sejarah dalam kajiannya tentang perkembangan intelek (pikiran) manusia dan fase-fase yang dilaluinya Tampak bahwa para pemikir pada masa pencerahan telah berupaya mencarikan landasan posisi manusia dalam alam fisik dan mereka menganggap hukum-hukum sejarah adalah sama dengan hukumhukum alam. Dari segi lain mereka mempercayai kemajuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar