Perbandingan Gerak Sejarah
Menurut
Auguste Comte dan Giambatistta Vico
BAB I. PENDAHULUAN
Salah
satu topik penting yang dibahas oleh para sejarawan adalah masalah manusia
dalam sejarah, yaitu tentang kebebasan manusia atau peranan manusia dalam
sejarah. Masalah yang berkaitan dengan filsafat sejarah tersebut tidak dapat
dipecahkan secara absolut, karena memiliki jawaban yang
bersifat relative atau tidak absolut.
Menganalisis
sejarah (kejadian sejarah) berarti mencari hakekat dari kejadian-kejadian
tersebut. Hasil analisis tersebut akan disusun dan diceritakan kembali dalam
cerita sejarah. Analisis sejarah yang objektif,bila analisis itu didasarkan
pada sumber-sumber yang ditemukan, peranan pikiran manusia yang menganalisis
(subjek), maka hanya terbatas pada kemampuan mencari adanya hubungan antara
cerita dan sumber-sumber sejarah tersebut.
Gerak
sejarah juga ditentukan oleh hukum alam. Kehidupan sebuah kebudayaan dan
lainnya dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum.
Ada
juga yang berpendapat bahwa gerak sejarah bisa di tentukan oleh ikhtiyar,
usaha, dan perjuangan manusia, usaha juga bisa menghasilkan perubahan nasib
yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka, gerak sejarah merupakan perimbangan
antara kehendak Tuhan dan usaha manusia (perpaduan otonomi dan heteronomi).
Gerak
sejarah hanya bertujuan untuk melahirkan, membesarkan, mengembangkan, dan
meruntuhkan kebudayaan. Mempelajari sejarah bertujuan untuk mengetahui lebih
detail tentang suatu kebudayaan. Nasib suatu kebudayaan dapat diramalkan,
sehingga untuk seterusnya kebudayaan itu dapat menentukan sikap hidupnya.
Dari
permasalahan diatas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Apakah yang dimaksud dengan gerak sejarah ?
b.
Bagaimanakah pandangan gerak sejarah menurut
Auguste Comte ?
c.
Bagaimanakah pandangan gerak sejarah menurut
Giambatistta Vico ?
d.
Bagaimanakah persamaan dan perbedaan gerak
sejarah berdasarkan pandangan Auguste Comte dan Giambatistta Vico ?
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Memahami pengertian gerak dan teori gerak
sejarah
b.
Memahami pandangan gerak sejarah menurut
Auguste Comte dan Giambatistta Vico ?
c.
Menganalisis persamaan dan perbedaan gerak
sejarah menurut Auguste Comte dan Giambatistta Vico
BAB
II.
PEMBAHASAN
Tentang
sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah
perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan
sejarah dalam kerangka filosofis. (Poerwantara, 1992, p. 20)
Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu
tema yang mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi
yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan
filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas
metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan
analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman
modern dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk
menganalisis apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia
mempelajari tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian dan
hubungan-hubungan antara pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat,
realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada
pengetahuan yang benar.
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan
komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini
perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang
metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode
analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari
pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan
tujuannya. (Al-Sarqawi,
1981, pp. 114-115)
Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu,
artinya sejarah sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki
secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa
lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara
kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya
dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah
program masa depan. Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam
pengertian sebagai filsafat sejarah.
Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama,
sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan
menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah
dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji
serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari
kesimpulan-kesimpulannya.
Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga
bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu
membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan
kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik,
melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab
penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam
memecahkan problematika manusia. Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai
idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan
itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
1. Bergantung
pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap
idealisme sejati;
2. Harus
mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan
spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika
gerak sejarah;
3. Ia
harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan.
Dengan dasar ideologi ini sebagai objek yang terlepas dari subjektivitas
manusia, bukan bagian dari manusia dan bukan pula hasil olah budi manusia,
tetapi harus memiliki benang merah yang menghubungkannya dengan manusia;
4. Prinsip
kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam
berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.
Jiwa
dari teori-teori sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak
yang tumbuh dan berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami. (Poerwantara,
1992, p. 47)
Menurut Muthahhari, pengertian
evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan transformasi.
Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu proses yang di
dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang diikuti oleh
pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke arah
heterogenitas. (Muthahhari,
1984, p. 25)
Dalam
proses evolusi sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia
menjadi inti masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia
eksistensinya begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam
menentukan gerak sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah
dapat diterangkan sebagai berikut.
1. Pandangan
sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah
yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada
karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat.
Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan
masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
2. Gerak
sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya.
Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat
yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga
penggerak kemajuan manusia.
3. Pengaruh
alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari
segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah
dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
4. Kekuatan
penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara
bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula
tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya
cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini membuka
jalan bagi Cauvinisme.
5. Teori
evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu
berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat
yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah
proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan
ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.
6. Teori
historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi.
Gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan
masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat
yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah
mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.
Menurut
Ankersmit (1987: 17), umumnya terdapat tiga hal yang menjadi kajian filsafat
sejarah spekulatif, yaitu pola gerak sejarah, motor yang menggerakkan proses
sejarah, dan tujuan gerak sejarah. Melalui tiga hal ini, lebih-lebih untuk hal
yang ketiga, sistem-sistem sejarah spekulatif tidak hanya berbeda dengan
pengkajian sejarah “biasa” karena secara khusus meneropong masa depan, juga,
dalam pengungkapannya mengenai masa silam, cara kerja seorang filsuf sejarah
spekulatif berbeda dengan cara kerja seorang peneliti sejarah yang “biasa”. Apa
yang ditemukan dan diungkapkan oleh seorang peneliti sejarah.
Aguste
Comte mengakui bahwa tujuan ilmu pengetahuan itu pada akhirnya mengarah kepada
pencapaian kekuasaan, sebagaimana semboyan mengatakan ”knowladge is power”
namun kita tidak boleh melupakan bahwa disamping itu masih terdapat tujuan lain
yang lebih tinggi, yaitu bahwa ilmu pengetahuan memberi kepuasan kepada manusia
melalui pengenalan hukum-hukum gejala (fenomena) alam semesta, dan dengan
mengenal hukum-hukum gejala tadi, manusia akan mampu meramalkan, dan bahkan
mampu pula merubah alam itu untuk kepentingannya (Wibisono, 1982, p. 22)
Sejarah
universal Comte adalah gerak kemajuan yang lurus dari keadaan primitive, kearah
tingkatan yang lebih tinggi dan lebih baik. Kemajuan ini lebih dapat diamati
dalam bidang intelektual daripada moral.
Filsafat
positivistik Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam
fikiran manusia. Matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Aguste
Comte terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia,
yaitu: teologik, metaphisik, dan positif. Pada jenjang teologik, manusia
memandang bahwa segala sesuatu itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti
dirinya. Jenjang teologik ini dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu :
a. Animism
atau fetishisme. Memandang bahwa setiap benda itu memiliki kemauannya sendiri.
b. Polytheisme.
Memandang sejumlah dewa memiliki menampilkan kemauannya pada sejumlah obyek.
c. Monotheisme.
Memandang bahwa ada satu Tuhan yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek.
Hukum
tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat
manusia dari masa primitif sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas
yang sangat maju. hukum ini menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (umat
manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan
menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik dan positif.
Comte
menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:
Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.
Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.
Dalam
fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni
sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat (pengetahuan
absolut) mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari
hal-hal supranatural. Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk
lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal supernatural,
melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat
pada semua benda (abstraktsi-abstaksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu
menghasilkan semua gejala. Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi
sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian
absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan
perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya, yakni hubungan-hubungan urutan
dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan
secara tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini.
Untuk
menggambarkan perbedaan yang ditekankan Comte, bayangkanlah bahwa kita akan
menjelaskan suatu gejala alam seperti angin taufan. Dalam tahap teologis,
gejala serupa itu akan dijelaskan sebagai hasil tindakan langsung dari seorang
Dewa angin atau Tuhan. Dalam tahap metafisik gejala yang sama itu akan
dijelaskan sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah.
Dalam tahap positif angin taufan itu akan dijelaskan sebagai hasil dari suatu
kombinasi tertentu dari tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembaban, dan
suhu – semua variabel yang dapat diukur, yang berubah terus menerus dan
berinteraksi menghasilkan angin taufan itu.
Tahap
teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk
analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme,
politeisme dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam
masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki
kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya fetisisme ini diganti dengan kepercayaan
akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam,
namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju,
kepercayaan akan banyak Dewa itu diganti dengan kepercayaan akan Satu Yang
Tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap
monoteisme.
Tahap
metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif.
tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang
dapat ditemukan dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang
asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia,
sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
Tahap
positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat
positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru
atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi
penting seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data
empiris. Analisa rasional mengenai data empris akhirnya akan memungkinkan
manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai
uniformitas empiris daripada kemutlakan metafisik
Giambastita
Vico sebagai seorang ahli hukum, sejarawan, dan filsof begitu terkenal atas
teorinya tentang daur kultural spiral. Dalam teori tersebut, Vico membuat suatu
periodisasi sejarah manusia berdasarkan pola pikirnya. Pertama, manusia berada
dalam kekuasaan para dewa. Manusia mengikuti jalan hidupnya melalui mitos dan
hal-hal yang lain yang berbau irrasional seperti mereka yang menduduki jabatan
adalah mereka yang dapat berkomunikasi dengan dewa. Kedua, manusia dalam kuasa
para pahlawan. Manusia akan tunduk pada manusia lainnya apabila mereka
ditundukkan secara fisik. Pada periode ini manusia mulai menggunakan akalnya
untuk berpikir apakah benar manusia yang berkuasa adalah pilihan Tuhan.
Terakhir, manusia telah mengenali dirinya sendiri kemudian mendirikan
kerajaannya sendiri yang memiliki tatanan tertentu untuk menciptakan keadilan
social. (Madjid, 2011, pp. 123-124) .
Sidi Gazalba menguraikan
gerak sejarah menurut Vico adalah berbentuk spiral, jadi selalu ada perulangan
kembali, tetapi tidak pada titik pangkal, melainkan ketitik yang lebih tinggi,
sehingga seluruhnya merupakan kemajuan. Teori Vico dapat dianggap sebagai
sintesis dari gerak lingkar dan proses saling hubung, antara pendapat sejarah
berulang lagi dan sejarah berlaku kembali. Vico menyatukan ulangan dengan
urutan atau ulangan dengan perkembangan (Sidi Gazalba dalam (Wahyudi, 2014, p. 181)
Menurut
Vico, lingkaran itu berlaku bagi setiap bangsa. Masing-masing mengalami
perkembangandalam tiga tingkat yaitu ketuhanan atau keagamaan, kepahlawanan dan
kemanusiaan. Tingkat terakhir adalah tingkat peradaban sekaligus merupakan
tingkat keruntuhan. Sesudah itu bangsa lain yang masih biadab mengambil alih
tugas bangsa yang telah berakhir sejarahnya. (Madjid, 2011)
Vico
dalam karyanya dalam memformulasikan sejarah dalam bentuk siklus regular.
Metodenya paling tidak didasarkan pada tiga asumsi dasar yaitu :
a. Bahwa
periode-periode sejarah tertentu mempunyai watak dan karakter umum yang
mewarnai setiap detail peristiwa dan muncul kembali pada periode lain sehingga
dua periode yang berbeda mungkin saja mempunyai karakter yang sama.
b. Periode-periode
yang sama tersebut cenderung terulang pada keadaan atau kondisi yang sama atau
mirip pada periode yang lain. Umpanya setiap periode heroic diikuti oleh suatu
periode klasik dimana fikiran mengendalikan imanginasi, prosa mengatasi puisi,
industry mengalahkan agrikultur, dan moralitas damai mengatasi yang berdasarkan
perang. Setelah itu, kemunduran atau kehancuran menyusul sampai pada munculnya
barbarism dalam suasana atau situasi yang baru. Kadang Vio juga menjelaskan
teori siklusnya mulai dari kekuatan brutal, kekuatan heroic (keberanian),
keadilan si pemberani, inisiatif sang brillian yang orisinal, relfeksi
konstruktif, dan terakhir keserakahan si pemboros yang menghancurkan segala
yang sudah dibangun.
c.
Gerakan siklusnya lebih dekat dengan
gerak spritaldari pada gerak rotasi. Sejarah itu sendiri tidak pernah berulang,
tetapi bersambung melalui fase-fase yang datang dari yang sudah lewat dengan
bentuk yang berbeda. (Collingwood, 1976, pp. 67-68)
Madjid dalam bukuya Pengantar Ilmu Sejarah
mengatakan Comte seperti Vico menempatkan dunia ide dalam
mengaji masyarakat, bidang kajiannya inilah yang kemudian menjadi embrio ilmu
kemasyarakatan atau sosiologi. Dunia ide yang dimaksud adalah cara berpikir
manusia yang berkembang dalam tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap
positif. Pada tahap teologis, akal budi manusia secara alamiah mencari tahu tentang
sebab terjadinya kehidupan dan kemana kehidupan itu bermuara. Pada tahap
metafisik, akal budi manusia tidak lagi percaya pada kekuatan supranatural
tetapi mencari sebabakibat segala sesuatu terkait pada kekuatankekuatan yang
abstrak. Tahap terakhir yakni tahap positifistis dimana akal budi manusia
meninggalkan kepercayaan pada kekuatan supranatural dan abstrak berganti pada
penelitian ilmiah yang dipandang lebih rasional. (Madjid, 2011, p. 181)
Perbedaan
gerak sejarah menurut Auguste Comte dan Giambatistta Vico
No
|
Auguste Comte
|
Giambatistta Vico
|
1
|
Fase pertama adalah : Zaman
teologis atau tahap teologis
Orang mengarahkan rohnya
keapada hakekat-hakekat batiniah di mana orang masih percaya kepada
kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak dan orang yakin
bahwa dibelakang setiap kejadian terseira suatu pernyataan kehendak yang
secara khusus.
|
Fase
pertama oleh Vico disebut dengan masa ketuhanan. Masa ini bermula pada waktu
suatu bangsa mulai meninggalkan secara bertahap kehidupan primitif
sebelumnya, untuk masuk pada masa ketuhanan. Masa ini sendiri diwarnai dengan
berkembangnya berbagai khurafat dan rasa takut terhadap fenomena-fenomena
alam yang dipandang sebagai teofani kehendak Ilahi, baik yang menunjukkan
kemarahan-Nya atau keridhaan-Nya. Selain itu masa ini juga didominasi oleh
ide ruh baik dan ruh jahat yang menentukan nasib manusia. Lebih jauh lagi
masa ini adalah masa mitologi animistis yang dikendalikan oleh
kekuasaan-kekuasaan kependetaan yang menyatakan bahwa hak-haknya dalam
melaksanakan apa yang dipandangnya sebagai
hukum didasarkan pada kehendak tertinggi Ilahi.
|
2
|
Fase kedua adalah fase zaman
metafisika. Pada zaman ini sebenarnya
hanya mewujudkan suatu perubahan dari zaman teologis dimana kekuatan-kekuatan
yang adikodrati atau dewa-dewa diganti dengan kekuatan abstrak dengan
pengertian-pengertian atau dengan pengadaa-pengadaan yang lahiriah dan
kemudian dipersatukan dalam suatu yang bersifat umum yang disebut dengan
alam. Pengetahuan pada zaman ini desiebut metafisis.
|
Fase
yang kedua adalah zaman Heroik atau masa para pahlawan. Fase ini bermula pada
waktu masyarakat masa ketuhanan bersatu dan masuk pada kesatuan yang lebih
besar guna menghadapi bahaya luar atau disintegrasi internal. Pada fase ini
watak manusia begitu didominasi cinta kepada kepahlawanan dan pemujaan
kekuatan, agama, sastera, dan filsafat mengambil corak mitologis khusus.
Sementara kekuasaan pada masa ini telah beralih dari tangan para pendeta dan
tokoh agama ke tangan panglima perang dan ksatria. Dalam kondisi yang demikian kekuatan menjadi
hukum yang berlaku dan kekuatan bers enjata yang menentukan kebenaran.
Kondisi yang demikian ini erat kaitannya dengan sistem aristokratis yang
didasarkan pada pemisah penuh antara hak-hak tuan dan hak-hak budak. Pada
waktu masyarakat awam, sebagai warganegara, memperoleh hak-hak mereka,
masyarakat.
|
3
|
Fase ketiga : adalah zaman positif atau ilmiah
Zaman positif atau ilmiah
Pada zaman ini semua orang tahu bahwa tiada gunanya untuk
berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak atau absolut baik
pengenalan teologis maupun pengenalan metafisiS fakta yang dapat diamati
dengan panca indra dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Semua dipertanggung
jawablan dengan ilmiah sebab memang ada bukti faktualnya. Pengetahuan yang
faktual yan ilmiah itulah pengetahuan yang sejati.
|
Fase
ketiga : adalah fase humanistis. Masa
ini diwarnai dengan demokrasi, pengakuan kesamaan manusia, dan keruntuhan
sistem otoriter. Ia adalah masa rasional yang mempercayai manusia dan
berupaya untuk menguasai alam di mana fenomena-fenomenanya kini lagi
dipandang erat kaitannya dengan amarah dan keridhaan Tuhan. Namun dalam masa
ini, menurut Vico, terkandung benih keruntuhan dan kehancuran. Sebab
demokrasi dan pernyataan persamaan anggotaanggota masyarakat segera akan
mendorong rakyat awam mempunyai sikap yang ekst rem dalam menuntut hak-hak
mereka yang secara bertahap kemudian
mereka peroleh. Tapi ini membuat semakin meningkatnya konflik antara kelas
masyarakat, bukannya meredakannya, sehingga melemahkan hubungan-hubungan
tradisional antara kelas-kelas itu dan membangkitkan keraguan terhadap
sebagian nilainilai tradisional yang diterima tradisi-tradisi sosial yang
diakui. Akibatnya adalah terjadi disintegrasi dan kerusuhan yang merupakan
pertanda berakhiriya daur kebudayaan seluruhnya. Apabila suatu masyarakat
telah memasuki kondisi disintegrasi yang demikian ini, sulitlah untuk
melakukan perbaikan internal dan tidak ada yang tinggal kecuali ekspansi
asing dari luar atau disintegrasi sosial total dari dalam, di mana setelahnya
masyarakat kembali pada kehidupan barbar guna memulai daur kultural yang
baru. Setelah itu – dengan melalui pola yang sama - dengan secara bertahap
masyarakat itu pun beranjak dari masa ketuhanan ke dalam masa para pahlawan
dan kemudian masa humanistis yang membuatnya kembali pada ke hidupan barbar
lagi. Kondisi yang demikian ini berlaku terus-menerus.
|
Irham
Nugroho dalam Jurnal Cakrawala, Vol. XI, No.2 Desember 2016 menguraikan kelebihan
dan Kekurangan mengenai positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai beberapa
kelebihan dan kekurangan. Yaitu sebagai berikut:
a. Kelebihan
Positivisme
1) Positivisme
lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh
lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2) Hasil
dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan
yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara
spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur
dan valid.
3) Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme,
orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya
terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.
4) Positivisme
telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
5) Positivisme
sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun
keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.
b. Kelemahan
Positivisme
1) Analisis
biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar
terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisikbiologik.
2) Akibat
dari ketidak percayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya,
maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya
kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu
didalam ajaran agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini
ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang
yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3) Manusia
akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa
bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu
dinafikan.
4) Hanya
berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan
pengetahuan yang valid.
5) Positivisme
pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat
dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca
indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan
tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja,
padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6) Hukum
tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang
optimis, tetapi juga terkesan lincah-seakan setiap tahapan sejarah evolusi
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian
bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias
teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas
dasar siklus-yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik
akhir sebuah tujuan sejarah yang final.
Menurut Aguste
Comte, pengertian perkembangan merupakan proses dari berlangsungnya sejarah
umat manusia, diberi arti isi dan arti yang positif, dalam arti sebagai suatu
gerak yang menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi atau lebih maju. Baginya
perkembangan merupakan penjabaran segala sesuatu sampai pada obyeknya yang
tidak personal.melalui pemahaman ajaran tentang hukum tiga tahap, karena hukum
inilah yang ternyata merupakan unsur pokok seluruh pandangan filsafatnya,
sehingga melalui hukum itu pula, akan dapat dilacak garis-garis pembatas yang
telah ia berikan tentang ajaran mengenal, penjelasan tentang masyarakat di
Barat serta sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, serta dasar-dasar yang ia
berikan untuk memperbaharui keadaan masyarakat. (Nugroho, 2016) .
Effat
al – Sharqawi dalam gerak sejarah menguraikan persaman pandangan gerak sejarah Auguste
Comte dan Vico. Comte termasuk kaum progresif yang memakai teori organis dalam
menginterpretasikan watak masyarakat. Menurutnya, masyarakat adalah kelompok
organis kolektif, dan seperti halnya berbagai fenomena dalam alam, matematika
dan biologi tunduk di bawah hukum-hukum tertentu, masyarakat juga, tegak di
atas suatu hukum umum. Berdasarkan hukum itu sendiri, misalnya, kita bisa
membagi berbagai fase yang dilalui peradaban menjadi tiga fase, yaitu fase
teologis, fase metafisis, dan fase positif. Hukum ketiga fase itu diikhtisarkan
Comte dari sejarah ilmu pengetahuan dan terpengaruh oleh tiga klasifikasi yang
dikemukakan Vico, seperti akan diuraikan nanti dalam kajian ini. Ide kemajuan
diperbincangkan Comte dalam kerangka dinamisme sosial yang dipandangnya sebagai
teori umum kemajuan manusia yang secara ringkas, di antaranya, dinyatakan bahwa
pada akhirnya manusia akan mampu mengendalikan alam. Dalam filsafat Comte
kemajuan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kemajuan intelektual, kemajuan
material, dan kemajuan moral. Filsafat Comte itu terpengaruh oleh ide
perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam, namun ia mempergunakan sejarah dalam
kajiannya tentang perkembangan intelek (pikiran) manusia dan fase-fase yang
dilaluinya. (al-Sharqawi, 2007)
Berikut
adalah persamaan pandangan gerak sejarah menurur Comte dan Vico.
No
|
Persamaan Pandangan Gerak
Sejarah Menurut Comte dan Vico
|
1
|
Menganut
gerak sejarah maju
|
2
|
Berbagai
fase yang dilalui peradaban menjadi tiga fase, yaitu fase teologis, fase
metafisis, dan fase positif. Hukum ketiga fase itu diikhtisarkan Comte dari
sejarah ilmu pengetahuan dan terpengaruh oleh tiga klasifikasi yang
dikemukakan Vico, seperti akan diuraikan nanti dalam kajian ini. Ide kemajuan
diperbincangkan Comte dalam kerangka dinamisme sosial yang dipandangnya
sebagai teori umum kemajuan manusia yang secara ringkas, di antaranya,
dinyatakan bahwa pada akhirnya manusia akan mampu mengendalikan alam.
|
3
|
Berupaya
mencarikan landasan posisi manusia dalam alam fisik dan mereka menganggap
hukum-hukum sejarah adalah sama dengan hukumhukum alam. Dari segi lain mereka
mempercayai kemajuan. Tapi landasan apakah yang bisa dipakai untuk memandang
bahwa alam adalah maju secara terus ke arah suatu tujuan?
|
BAB
III. KESIMPULAN
Setiap
saat masyarakat selalu mengalami perubahan. Jika dibandingkan apa yang tejadi
saat ini dengan beberapa tahun yang lalu. Maka akan banyak ditemukan perubahan
baik yang direncanakan atau tidak, kecil atau besar, serta cepat atau lambat.
Perubahan-perubahan tersebut dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
lingkungan sosial yang ada. Dimana manusia selalu tidak puas dengan apa yang
telah dicapainya. Oleh karena itu manusia selalu mencari sesuatu agar hidupnya lebih baik.
Menurut
Giovanni Battista Vico, gerak sejarah itu berbentuk spiral. Jadi, selalu ada
pengulangan dalam sejarah, tapi tidak pada titik yang sama, melainkan ke titik
yang lebih tinggi, lebih maju.
Teori
Vico dapat dianggap sebagai sintesa dari gerak lingkar dan proses salikg
hubung, antara pendapat sejarah yang selalu berulang dan yang mengatakan bahwa
sejarah hanya berlaku sekali. Vico menyatukan ulangan dengan urutan atau
ulangan dengan perkembangan.
Auguste
Comte termasuk kaum progresif yang memakai teori organis dalam
menginterpretasikan watak masyarakat. Menurutnya, masyarakat adalah kelompok
organis kolektif, dan seperti halnya berbagai fenomena dalam alam, matematika
dan biologi tunduk di bawah 12 hukum-hukum tertentu, masyarakat juga, tegak di
atas suatu hukum umum. Berdasarkan hukum itu sendiri, misalnya, kita bisa
membagi berbagai fase yang dilalui peradaban menjadi tiga fase, yaitu fase
teologis, fase metafisis, dan fase positif. Hukum ketiga fase itu diikhtisarkan
Comte dari sejarah ilmu pengetahuan dan terpengaruh oleh tiga klasifikasi yang
dikemukakan Vico, seperti akan diuraikan nanti dalam kajian ini. Ide kemajuan
diperbincangkan Comte dalam kerangka dinamisme sosial yang dipandangnya sebagai
teori umum kemajuan manusia yang secara ringkas, di antaranya, dinyatakan bahwa
pada akhirnya manusia akan mampu mengendalikan alam. Dalam filsafat Comte
kemajuan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kemajuan intelektual, kemajuan
material, dan kemajuan moral. Filsafat Comte itu terpengaruh oleh ide
perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam, namun ia mempergunakan sejarah dalam
kajiannya tentang perkembangan intelek (pikiran) manusia dan fase-fase yang
dilaluinya Tampak bahwa para pemikir pada masa pencerahan telah berupaya
mencarikan landasan posisi manusia dalam alam fisik dan mereka menganggap
hukum-hukum sejarah adalah sama dengan hukumhukum alam. Dari segi lain mereka
mempercayai kemajuan.